
Jangan Lelah Mencintai Muhammadiyah!
Penulis: Abdul Ghoni Mahmudi || Suka menulis. Hobi makan dan jalan-jalan, kalau ada uang.
Ada kalanya cinta tidak perlu diumbar dengan kata-kata manis. Tidak perlu bunga, tidak perlu janji-janji sehidup semati, apalagi unggahan story dengan lagu-lagu mellow. Kadang, cinta itu hadir dalam bentuk paling sederhana: memasangkan sebuah pin dengan penuh hormat kepada orang yang jauh lebih sepuh.
Adegan ini betul-betul terjadi. Seseorang yang kini menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi, Suli Da’im, terlihat dengan sabar memakaikan pin kepada Kyai Sa’ad Ibrahim. Tangannya pelan, matanya teduh, dan sikapnya penuh ta’dzim, bukan ta’dzim ala-ala untuk konten TikTok, tapi ta’dzim yang muncul dari laku keseharian. Dari ketulusan. Dari cinta yang tidak banyak minta balasan.
Kyai Sa’ad yang dipasangkan pin itu? Beliau bukan tokoh sembarangan. Beliau Pimpinan Pusat Muhammadiyah, seorang ulama yang bahkan di usia sepuhnya masih punya tenaga dan semangat melebihi admin akun resmi Muhammadiyah menjelang milad. Dengan langkah ringan yang entah rahasianya apa, beliau menyempatkan diri datang jauh-jauh ke Ponorogo demi memeriahkan puncak Milad Muhammadiyah ke-113. Jauh, capek, panas, belum lagi agenda yang berderet seperti daftar belanja akhir bulan. Tapi beliau tetap hadir. Tanpa banyak ribut, tanpa banyak pamrih.
Kita boleh berbeda pendapat soal banyak hal: apakah mendoan lebih enak setengah matang atau kering, apakah harus pakai saus atau kecap, apakah logo Muhammadiyah cukup diganti warna saja atau sekalian dapat glow up total. Tapi untuk urusan satu ini, kayaknya kita sepakat: dua momen tadi bukan sekadar acara seremonial. Bukan pula basa-basi organisasi. Itu adalah bukti bahwa cinta kepada Muhammadiyah bisa hadir lewat tindakan-tindakan kecil yang tidak banyak disorot kamera, tetapi justru paling terasa maknanya.
Di tengah dunia yang semakin hobi mengukur cinta dari seberapa sering kita posting atau seberapa heboh kita campaign, Muhammadiyah diam-diam menunjukkan bahwa cinta sejati itu bukan perkara volume suara, tapi konsistensi langkah. Suli Da’im dengan pin-nya. Kyai Sa’ad dengan perjalanannya. Dua potret sederhana yang mengingatkan kita bahwa mencintai Muhammadiyah tidak perlu selalu spektakuler, cukup tulus, cukup hadir, cukup tidak lelah.
Jangan-jangan, justru itulah kekuatan Muhammadiyah selama 113 tahun ini. Bukan karena kampanye besar atau gegap gempita panggung, tetapi karena ada banyak orang yang cintanya sunyi, rapi, dan tidak rewel. Cinta itu membuat para Pimpinan Muhammadiyah tidak saling sikut, apalagi hanya urusan duniawi seperti tambang atau kekuasaan. Cinta yang membuat mereka terus bergerak meski lelah, terus hadir meski jauh, terus mengabdi meski tak ada tepuk tangan.
Maka, jika ada pesan utama dari dua peristiwa tadi, mungkin sederhana saja: jangan lelah mencintai Muhammadiyah.
Karena nyatanya, Muhammadiyah sendiri tidak pernah lelah mencintai warganya.



