Artikel

Digital Battlefield: Perempuan dan Pertaruhan Keamanan Jagat Maya

Penulis : Rihan Dwidarmawati, Ketua Departemen Kominfo PDNA Ponorogo

Peringatan Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang diperingati setiap 25 November bukan sekadar agenda seremonial, melainkan pengingat global bahwa kekerasan terhadap perempuan terus berevolusi mengikuti perkembangan sosial dan teknologi, terutama ketika ruang digital kini menjadi perpanjangan dari interaksi manusia.

Transformasi digital yang awalnya membawa harapan bagi perempuan dengan memberikan akses untuk belajar, menyuarakan opini, berkarya, dan membangun jejaring profesional yang justru juga menciptakan arena baru bagi maraknya Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) seperti perundungan, pelecehan seksual digital, body shaming, penyebaran konten intim tanpa izin, doxing, deepfake, dan bentuk pengawasan digital lainnya.

Fenomena ini bukan hanya persoalan teknis atau perilaku individual, melainkan persoalan komunikasi yang kompleks yang melibatkan relasi kuasa, representasi sosial, dan proses produksi makna yang berulang kali menempatkan perempuan sebagai objek yang bisa dieksploitasi.

Ruang digital mengubah kekerasan menjadi lebih cepat, lebih masif, dan lebih sulit dihentikan, karena pelakunya sering memanfaatkan anonimitas, amplifikasi algoritmik, dan budaya digital yang kerap menormalisasi komentar seksis atau candaan misoginis seolah-olah tidak memiliki konsekuensi.

Dari perspektif teori komunikasi kritis, kekerasan digital ini merupakan bentuk symbolic violence yang bekerja melalui pesan, bahasa, dan interaksi yang merendahkan martabat perempuan, bahkan menciptakan silencing effect, dampak diam yang membuat perempuan enggan berpendapat, menarik diri dari diskusi publik, atau membatasi kehadiran mereka di media sosial karena takut diserang atau dipermalukan.

Kondisi ini jelas mengancam kualitas demokrasi yang membutuhkan ruang komunikasi yang aman, inklusif, dan setara bagi setiap warga negara. Ruang digital yang aman mutlak diperlukan agar perempuan dapat menyampaikan pendapat politik tanpa intimidasi, mencari bantuan tanpa takut diserang balik, berkampanye tanpa risiko doxing, belajar tanpa dilecehkan, serta berkarya tanpa tekanan misoginis.

Upaya menciptakan ruang digital yang aman tidak bisa dibebankan pada satu pihak saja; harus ada kolaborasi antara pengguna yang membangun literasi digital kritis dan etika komunikasi, platform digital yang meningkatkan moderasi konten dan menciptakan mekanisme pelaporan yang efektif, pemerintah yang memperkuat regulasi dan menyediakan layanan pendampingan bagi korban, serta institusi pendidikan yang mengintegrasikan literasi digital dan perspektif gender ke dalam kurikulum serta mendorong penelitian dan advokasi.

Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan mengingatkan kita bahwa perubahan tidak hanya dilakukan melalui kampanye, tetapi melalui transformasi budaya komunikasi yang menghargai martabat manusia, menolak normalisasi kekerasan, dan memastikan bahwa perempuan dapat hadir, berbicara, dan berpartisipasi penuh dalam ruang digital tanpa rasa takut.

Menghentikan bullying, diskriminasi, dan kekerasan berbasis gender online bukan hanya soal melindungi perempuan, tetapi tentang membangun tatanan komunikasi yang lebih berkeadaban, lebih demokratis, dan lebih manusiawi. Tatanan yang menjadi fondasi penting bagi masyarakat yang benar-benar setara.

Related Articles

Back to top button