
Romantisme Muhammadiyah dan NU di Ponorogo: Couple Goals Dua Ormas Besar
Penulis: Abdul Ghoni, Guru Bahasa Indonesia MTs Muhammadiyah Yanggong.
Kalau ditanya tentang Ponorogo, kebanyakan akan menjawab dua hal: Reog dan Telaga Ngebel. Dua ikon itu memang sudah jadi semacam kartu nama kota ini. Wisatawan dari luar daerah pun kalau sudah foto dengan background reog lalu selfie di pinggir telaga, merasa kunjungannya sah.
Tapi, Ponorogo sebenarnya punya romantisme lain yang tak kalah menarik ketimbang hanya Reog atau danau hijau. Romantisme itu ada pada hubungan Muhammadiyah dan NU. Ya, dua organisasi besar Islam yang di tempat lain atau di dunia maya kadang suka saling sindir, tapi di Ponorogo justru hidup berdampingan dengan manis, bikin iri, kadang bikin ngakak.
Bayangkan saja: Kantor PCNU bersebelahan dengan kantor PD ‘Aisyiyah. Posisi itu mirip rumah dua sejoli dalam sinetron FTV, yang cuma dipisahkan pagar bambu. Tinggal tunggu adegan lempar senyum atau saling pinjam perkakas kalau lagi butuh. Di Ponorogo, kalau ada pengurus Aisyiyah keluar kantor, bisa saja tiba-tiba ketemu pengurus NU yang juga baru pulang rapat. Situasinya penuh romantis: dari sekadar sapa basa-basi, hingga becandain perbedaan pelaksanaan idulfitri.
Belum cukup sampai situ. Kantor Muslimat NU berdiri gagah berhadapan dengan Swalayan Surya Mart milik Muhammadiyah. Nah, ini jelas-jelas kayak kisah cinta toko sebelah. Habis rapat, ibu-ibu Muslimat tinggal nyeberang buat belanja. Kasir Surya Mart pun sudah hafal siapa pelanggan tetap, siapa yang suka belanja dengan catatan “utang dulu, Bu, bayarnya habis arisan.” Muhammadiyah pun tetap melayani dengan ikhlas. Hubungan itu seperti pasangan yang saling mengerti kebiasaan satu sama lain. Manis, bukan?
Masuk ke ranah pendidikan, romantisme ini makin nyata. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Ponorogo kebanyakan justru anak-anak NU. Jadi, jangan kaget kalau di kampus Muhammadiyah, mahasiswanya lebih hafal sholawat banjari daripada mars Muhammadiyah. Dosen bisa Muhammadiyah, mahasiswanya NU, tapi suasana tetap adem ayem. Seperti pasangan beda zodiak yang sebenarnya nggak cocok menurut ramalan, tapi kenyataannya langgeng dan harmonis.
Belum lagi kisah Kokam dan Banser. Di banyak daerah, dua pasukan pengaman ini bisa terlihat berseberangan. Tapi di Ponorogo, mereka sering menjaga acara bareng-bareng. Pemandangannya sungguh epik: Banser dengan loreng khasnya berdiri gagah di pintu kanan, Kokam dengan seragam lorengnya siaga di pintu kiri. Persis adegan FTV di mana dua cowok sahabat kompak melindungi sahabat cewek mereka dari preman pasar. Bedanya, ini bukan soal cinta segitiga, melainkan demi keamanan umat. Kalau bukan Ponorogo yang bisa bikin adegan manis macam ini, siapa lagi?
Maka, jelas bahwa selain Reog dan Telaga Ngebel, Ponorogo punya satu lagi aset wisata budaya: romantisme Muhammadiyah dan NU. Di kota lain, mungkin dua ormas ini sering dibanding-bandingkan, di medsos dibentur-benturkan, tapi di sini justru saling melengkapi. Mereka seperti pasangan rumah tangga yang kadang berdebat soal sepele, misalnya, siapa yang lebih dulu bikin pengajian akbar, tapi kalau ada masalah besar, langsung bahu membahu.
Tentu saja, hubungan ini jangan sampai putus. Bayangkan kalau tiba-tiba Muhammadiyah dan NU di Ponorogo bercerai. Siapa yang rugi duluan? NU bisa kehilangan pelanggan tetap Surya Mart, sementara Muhammadiyah bisa kehilangan separuh mahasiswanya. Belum lagi kalau Banser dan Kokam berhenti ngawal bareng, pengajian bisa jadi lebih sepi daripada pasar malam yang hujan deras.
Karena itu, jangan sampai ada yang usil ingin mengadu domba. Romantisme ini harus dipelihara. Muhammadiyah dan NU di Ponorogo adalah bukti bahwa perbedaan bukan untuk diributkan, melainkan untuk dijadikan bahan bercandaan dan kehangatan. Kalau Reog bisa menunjukkan kekuatan fisik Ponorogo, maka Muhammadiyah dan NU menunjukkan kekuatan hati: dua ormas besar bisa mesra, saling tatap meski beda kiblat ideologi.
Jadi, kalau Anda berkunjung ke Ponorogo, jangan cuma mampir ke Telaga Ngebel atau foto di alun-alun bareng Reog. Cobalah nikmati romantisme Muhammadiyah dan NU yang bertebaran di sudut-sudut kota. Percayalah, ini tontonan sekaligus tuntunan yang lebih awet ketimbang embun Telaga Ngebel dan lebih seru daripada atraksi Singo Barong.
Karena di Ponorogo, cinta abadi itu ternyata bukan cuma ada di lagu-lagu campursari, tapi juga di hubungan Muhammadiyah dan NU. Dan itu, kawan, wajib diromantisasi.



