Muhammadiyah dan Politik

 Muhammadiyah dan Politik

Kajian maupun studi mengenai Muhammadiyah dan politik menjadi pembahasan yang sangat menarik dan melibatkan banyak disiplin ilmu maupun pendekatan. Apalagi, banyak masyarakat mengira, bahwa ketika Muhammadiyah membahas urusan politik, terlebih politik praktis, anggapan yang muncul akan cenderung negatif. Meskipun kajian dalam penelitian ini erat kaitannya dengan disiplin ilmu politik, tidak ada salahnya ketika kemudian penulis sedikit mengaitkan dengan disiplin ilmu yang lain.

Ahmad Syafii Maarif, misalnya, menulis tentang teologi politik Muhammadiyah. Bagi Maarif, memahami politik dengan pendekatan teologi erat kaitannya perihal relasi antara agama dengan politik kenegaraan dalam perspektif Muhammadiyah. Meskipun pengartikulasian akan teologi politik Muhammadiyah belum begitu mendapat porsi lebih untuk dikaji, Maarif pun berpendapat, bahwa pandangan Muhammadiyah akan politik kenegaraan itu sendiri menjadi persoalan penting. Teologi yang secara jelas tidak bisa dilepaskan dari unsur agama, mau tidak mau harus dijadikan rujukan dasar oleh Muhammadiyah, kaitannya dengan politik, (Maarif, 2015).

Kemudian, dalam (Nashir, 2014) juga dijelaskan maksud dan tujuan Muhammadiyah itu sendiri, yakni menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam yang sebenar-benarnya hingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Melalui prinsip dasar tersebut, klaim bahwa Islam merupakan agama yang memiliki misi rahmat bagi seluruh alam perlu diejawantahkan dalam kehidupan nyata. Konkretisasi perwujudan itu, yakni beragama dengan baik dan benar, ketika diletakkan dalam konteks rahmat bagi seluruh alam, cakupannya ternyata sangatlah luas. Maka kemudian, K.H. Ahmad Dahlan mengelaborasikan banyak hal dalam perumusan maksud dan tujuan tersebut, termasuk di dalamnya, pendidikan, kesehatan, sosial, kebudayaan, hingga urusan politik, (Effendy, 2015).

Bahkan, ketika pada saat itu agenda politik nasional mulai diperlukan, para tokoh-tokoh Muhammadiyah tampil di dalamnya. Nama-nama seperti K.H. Mas Mansyur, tokoh Muhammadiyah yang mendirikan Partai Islam Indonesia, kemudian Ki Bagus Hadikusumo yang berperan aktif di dalam BPUPKI, hingga Kasman Singodimedjo tidak lain tidak bukan merupakan tokoh-tokoh pionir dan elite Muhammadiyah dalam berpolitik. Meskipun, keterlibatan mereka dalam panggung perpolitikan berangkat dari kapasitas secara individu, (Effendy, 2015).

Meskipun demikian, posisi Muhammadiyah sebagai organisasi, termasuk ketika masih menjadi anggota istimewa pada Partai Masyumi, tidak pernah menjadikan urusan politik menjadi titik tekan amal usahanya. Bahkan, seorang Bachtiar Effendy dalam bukunya “Keharusan Tajdid Politik Muhammadiyah” tersebut mengaku, bahwa organisasi sebesar Muhammadiyah ini sepertinya tidak memiliki kegairahan dan semangat yang sungguh-sungguh dalam bidang dan urusan politik, (Effendy, 2015).

Bachtiar Effendy juga menganggap, bahwa hal yang harus diselesaikan Muhammadiyah sebelum jauh merumuskan perihal substansi keterlibatan Muhammadiyah dengan politik adalah membangun kesadaran kolektif, bahwa politik itu sama mulianya dengan amal-amal usaha Muhammadiyah yang lain, seperti pendidikan, sosial, dan kesehatan, yang selama ini menjadi inti gerakan dalam amal usaha. Berangkat dari pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa perhatian Muhammadiyah akan urusan politik memang atau masih belum menjadi titik prioritas, ketimbang urusan-urusan pendidikan, kesehatan, maupun sosial dan ekonomi, (Effendy, 2015).

Kompleksitas persoalan politik di Muhammadiyah ini memang terjadi bukan tanpa sebab. Budaya politik Muhammadiyah yang masih bias, perilaku politik warga Muhammadiyah yang majemuk dan dinamis, sampai kepada dilematis yang dihadapi oleh politisi Muhammadiyah menjadi alasan, bagaimana budaya politik Muhammadiyah ini dapat menjadi pembahasan yang menarik untuk diperdalam. Achmad Jainuri, misalnya, dalam pembahasan budaya politik, menganggap bahwa persoalan budaya politik tidak akan bisa lepas dari tiga hal, (Jainuri, 2015).

Pertama, sikap politik warga Muhammadiyah. Dalam hal ini, Muhammadiyah telah lama menganut politik adiluhung, atau sering disebut high politics. Bagaimana dalam proses dan cara yang dilakukan untuk menegakkan sebuah sistem berdasarkan nilai-nilai agama. Namun, lain daripada itu, banyak dari warga Muhammadiyah yang aktif dalam pola-pola politik kepartaian, atau sering disebut low politics. Tradisi-tradisi politik demikianlah yang lebih condong akan pemaknaan-pemaknaan yang bersifat praktis, jangka pendek, dan transaksional, (Jainuri, 2015).

Kedua, etika politik politisi Muhammadiyah. Persoalan yang dihadapi politisi Muhammadiyah dewasa ini tidaklah mudah. Dalam membaca situasi politik kontemporer misalnya, politisi Muhammadiyah dihadapkan dengan persoalan imoralitas perilaku dalam berpolitik. Achmad Jainuri menganggap, bahwa persoalan demikian tentu sangat bertolak belakang dengan pandangan etika politik yang dipahami oleh para politisi Muhammadiyah. Namun, yang menjadi tantangan adalah, mampukah politisi Muhammadiyah terjun dalam rangka nahi munkar−mencegah kemungkaran−praktik-praktik politik yang tidak bermoral, atau membiarkan imoralitas politik terjadi begitu saja? (Jainuri, 2015).

Ketiga, adalah mengenai tradisi politik Muhammadiyah. Semenjak kelahirannya, Muhammadiyah memang tidak rupawan dengan wajah politik. Sebab itulah, orang di luar Muhammadiyah cukup kesulitan dalam memahami tradisi politik Muhammadiyah. Namun, dalam hal ini, ada tiga hal yang dapat membantu memahami tradisi politik Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah menjaga jarak yang sama dengan partai politik. Artinya, dalam menghadapi kondisi situasi politik praktis, Muhammadiyah selalu hadir dengan wajah politik adiluhung, tidak memiliki kecenderungan dengan partai politik tertentu, (Jainuri, 2015).

Kedua, menjaga kedekatan yang sama. Wacana ini disampaikan oleh Dahlan Rais dalam Tanwir Muhammadiyah di Samarinda pada tahun 2014. Namun, manakala hal tersebut dicermati lebih dalam, makna tersebut sarat akan perdebatan. Achmad Jainuri menilai, bahwa makna kedekatan dan bentuk kedekatan masih belum begitu jelas. Yang menjadi bahaya, adalah ketika kemudian persoalan ini menjadi berakibat pada tarik ulur di antara politisi Muhammadiyah. Konflik politik yang berpengaruh pada kondisi internal, bukan tidak mungkin akan terjadi, (Jainuri, 2015).

Ketiga, yakni mendirikan amal usaha politik. Meskipun ini masih menjadi wacana, paling tidak perlu diambil pertimbangan yang cukup dalam. Mengingat, bahwa warna dan karakteristik politik beda dengan amal usaha yang lain. Bagi Jainuri, amal usaha politik ini, manakala yang akan terjadi adalah politik transaksional, praktis, dan uang, hanyalah akan bersifat kontradiktif dengan budaya amar ma’ruf nahi munkar, sedikit bicara banyak bekerja, dan hidup-hidupilah Muhammadiyah yang selama ini menjadi karakter yang begitu melekat di dalam Muhammadiyah, (Jainuri, 2015).

Berbeda dengan beberapa pernyataan di atas, Haedar Nashir, dalam tulisannya “Kompleksitas Relasi Muhammadiyah dan Politik” justru menganggap bahwa Muhammadiyah sudah memahami betul mengenai persoalan politik. Maka, ketika Prof. Amien Rais mengkategorikan urusan politik ini menjadi low politics dan high politics, Muhammadiyah membagi persoalan politik menjadi dua, yakni politik yang bersifat umum, yakni urusan politik kebangsaan dan kenegaraan. Kemudian, politik secara khusus, yakni urusan politik yang bersifat praktis dan berorientasi pada kekuasaan, (Nashir, 2015).

Dalam urusan politik, Muhammadiyah sebagaimana Khittah Denpasar, justru memandang perjuangan politik praktis itu penting dan mulia. Namun, medium, wadah, yang digunakan pun harus pas dan proporsional, sebagaimana melalui jalan partai politik. Untuk mengetahui lebih jelas kandungan isi dari Khittah Denpasar, yaitu “Khittah Muhammadiyah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” sebagaimana dalam buku (Nashir, 2014), berikut kutipan isi lengkapnya:

“Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah berpandangan bahwa agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi: aqidah, ibadah, akhlak dan muamalah duniawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan mengemban misi gerakan tersebut Muhamadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan agama Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.

Bahwa peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dilakukan melalui dua strategi dan lapangan perjuangan. Pertama, melalui kegiatan-kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh partai-partai politik atau kekuatan-kekuatan politik formal di tingkat kelembagaan negara. Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara sebagaimana dilakukan oleh kelompok-kelompok kepentingan (interest groups).

Muhammadiyah berpandangan bahwa berkiprah dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu perwujudan dari misi dan fungsi melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana telah menjadi panggilan sejarahnya sejak zaman pergerakan hingga masa awal dan setelah kemerdekaan Indonesia. Peran dalam kehidupan bangsa dan negara tersebut diwujudkan dalam langkah-langkah strategis dan taktis sesuai kepribadian, keyakinan dan cita-cita hidup, serta khittah perjuangannya sebagai acuan gerakan sebagai wujud komitmen dan tanggungjawab dalam mewujudkan “Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur”.

Muhammadiyah senantiasa terpanggil untuk berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan berdasarkan pada khittah perjuangan sebagai berikut:

  1. Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek ajaran Islam dalam urusan keduniawian yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama. Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara;
  2. Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun melalui pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak diperlukan untuk membangun dimana nilai-nilai Ilahiyah melandasi dan tumbuh subur bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai kebersamaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, keadaban untuk terwujudnya “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”;
  3. Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani yang kuat sebagaimana tujuan muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang demokratis;
  4. Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis dan berorientasi pada kekuasaan untuk dijalankan oleh partai-partai politik dan lembaga-lembaga formal kenegaraan dengan sebaik-baiknya menuju terciptanya sistem politik yang demokratis dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan negara. Dalam hal ini perjuangan politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat dan tegaknya nilai-nilai utama sebagaimana yang menjadi semangat dasar dan tujuan didirikannya NKRI yang diproklamasikan tahun 1945;
  5. Muhammadiyah senantiasa memainkan peran politiknya sebagai wujud dari dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban;
  6. Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban;
  7. Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai dengan hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus sesuai dengan tanggung jawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiayah, demi kemaslahatan bangsa dan negara;
  8. Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab, akhlak mulia, keteladanan, dan perdamaian. Aktivitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi persyarikatan dalam melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar;
  9. Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana pun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudharatan, dan bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis, dan berkeadaban”

Dengan demikian, penulis dapat memahami bahwa hubungan antara Muhammadiyah dengan politik merupakan kajian pembahasan yang begitu kompleks, rumit, dan tidak sederhana. Banyak terjadi dinamika perspektif di dalamnya, yang lahir dari pemikiran antar elite pimpinan Muhammadiyah itu sendiri. Meskipun demikian, setidaknya, berangkat dari pelbagai rumusan dan gagasan mengenai hubungan Muhammadiyah dengan politik, daripada tokoh cendekiawan Muhammadiyah di atas, dapat menjadi rujuk-pandang bagaimana hubungan Muhammadiyah dengan politik dan bagaimana seharusnya kita (kader) dalam berpolitik

Daftar Pustaka:

Effendy, B. (2015). Keharusan Tajdid Politik Muhammadiyah. In Ijtihad Politik Muhammadiyah (pp. 11–28). Pustaka Pelajar.

Jainuri, A. (2015). Budaya Politik Muhammadiyah. In Ijtihad Politik Muhammadiyah (pp. 73–84). Pustaka Pelajar.

Maarif, A. S. (2015). Teologi Politik Muhammadiyah. In Ijtihad Politik Muhammadiyah (pp. 1–9). Pustaka Pelajar.

Nashir, H. (2014). Memahami Ideologi Muhammadiyah. Suara Muhammadiyah.

Nashir, H. (2015). Kompleksitas Relasi Muhammadiyah dan Politik. In Ijtihad Politik Muhammadiyah (pp. 105–149). Pustaka Pelajar.

Related post