
Momentum Jamda VIII HW Ponorogo dan Tantangan Keberlanjutan
Penulis: Miftahul Rahman, Kepala MIM 14 Prestisius Ponorogo
Jambore Daerah (Jamda) VIII Hizbul Wathan (HW) Ponorogo Jumat-Ahad (19-21/9/25) telah usai digelar. Ajang dua tahunan ini bukan hanya melahirkan juara, tetapi juga menorehkan jejak pengalaman berharga bagi setiap peserta. Ada yang pulang membawa piala, ada pula yang kembali dengan cerita perjuangan, meski berangkat dengan keterbatasan biaya, minimnya latihan, atau fasilitas yang serba terbatas. Namun justru di situlah letak makna Jamda, ia bukan semata soal prestasi, tetapi tentang proses belajar, ketangguhan, dan persaudaraan.
Sayangnya, semangat Jamda sering kali padam seiring selesainya api unggun terakhir. Riuh rendah HW mereda, sebagian qobilah kembali sibuk dengan rutinitas sekolah, dan hanya sedikit yang masih konsisten berlatih. Fenomena ini menyiratkan bahwa di banyak sekolah, HW belum diposisikan sebagai pilar pembinaan karakter, melainkan sekadar pelengkap administrasi ekstrakurikuler.
Padahal, sejarah Muhammadiyah menegaskan, HW bukan organisasi pinggiran. Ia lahir dari kesadaran para tokoh Muhammadiyah untuk melahirkan generasi muda Islam yang beriman, berakhlak mulia, sehat jasmani-rohani, sekaligus cerdas, kreatif, dan percaya diri. Maka, memperlakukan HW hanya sebagai “pengisi jam kosong” sesungguhnya mengkhianati warisan misi besar para pendiri.
Momentum lahirnya Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025 seharusnya menjadi alarm kebangkitan HW. Regulasi ini memberi mandat agar sekolah menyediakan kegiatan ekstrakurikuler kepanduan, baik pramuka maupun organisasi lain, untuk menanamkan kepemimpinan, kemandirian, dan kedisiplinan. Artinya, negara telah mengakui bahwa kepanduan di Indonesia bukan monopoli satu organisasi saja. Muhammadiyah mendapatkan peluang emas untuk menguatkan HW di sekolah dan madrasahnya. Namun, peluang tanpa keseriusan hanya akan menjadi kerugian.
Inilah tantangan terbesar HW hari ini yakni menjaga keberlanjutan gerakan. HW tidak boleh hanya hidup menjelang perlombaan dan mati suri setelahnya. Pimpinan qobilah, kepala sekolah, dan para pembina harus berani menempatkan HW sebagai program prioritas, bukan sekadar simbol seragam mingguan.
Lebih jauh, HW seharusnya menjadi laboratorium kepemimpinan nyata. Di sinilah siswa ditempa untuk memimpin regu, mengelola kegiatan, menyusun strategi, hingga mengatasi keterbatasan dengan kreativitas. Jika proses ini berjalan berkesinambungan, HW akan melahirkan kader Muhammadiyah yang tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga tangguh menghadapi dinamika kehidupan. Bukankah inilah cita-cita besar pendidikan Muhammadiyah sejak awal?
Jamda VIII HW Ponorogo memang sudah usai. Sorak-sorai lomba telah reda, namun semangatnya tidak boleh padam. Justru dari titik inilah kita harus menyalakan obor baru, mewujudkan HW sebagai ruang pembinaan kader yang berkelanjutan, bukan sekadar seremoni dua tahunan. Pertanyaannya kini, apakah kita siap mengubah HW dari simbol formalitas menjadi kekuatan strategis yang melahirkan pemimpin masa depan?



