Opini

Menjadi Guru di Tengah Arus Kurikulum yang Terus Berubah

Penulis: Miftahul Rahman, Kepala MIM 14 Prestisius Ponorogo

Perubahan kurikulum di Indonesia seolah menjadi sebuah siklus yang tidak pernah berhenti. Hampir setiap periode pemerintahan, selalu lahir kurikulum baru dengan semangat memperbaiki kualitas pendidikan. Kini, hadir kurikulum dengan pendekatan deep learning dan kurikulum berbasis cinta. Dua konsep ini menekankan pembelajaran yang mendalam, bermakna, sekaligus penuh kasih sayang. Tujuannya jelas, bukan hanya mencetak anak yang cerdas secara intelektual, tetapi juga membentuk karakter yang luhur.

Namun, di balik semangat itu, kita harus jujur mengakui bahwa banyak guru masih terjebak dalam pola lama. Apapun nama kurikulumnya baik KBK, KTSP, Kurikulum 2013, Merdeka Belajar, atau kurikulum berbasis cinta, metode mengajar sering tidak jauh berbeda. Ceramah panjang mendominasi kelas, siswa hanya duduk pasif, lalu hasil belajar diukur dari ujian semata.

Padahal, realitas sudah berubah. Anak-anak kita hidup di era digital, dengan arus informasi yang deras dan nyaris tanpa batas. Mereka tidak lagi cukup hanya dijejali pengetahuan. Mereka butuh bimbingan untuk memahami, menyaring, dan mengaplikasikan pengetahuan itu agar relevan dengan kehidupan nyata.

Di sinilah tantangan terbesar menjadi guru hari ini. Guru tidak cukup lagi berperan sebagai “penceramah ilmu”. Ia harus bertransformasi menjadi fasilitator, motivator, sekaligus teladan. Guru dituntut menguasai strategi pembelajaran yang menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kolaborasi. Lebih dari itu, guru juga dituntut hadir dengan kehangatan hati yakni membangun relasi, menumbuhkan percaya diri, serta menanamkan nilai moral dan spiritual.

Bukankah pada akhirnya, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia? Guru tidak hanya mencetak anak pandai berhitung atau fasih menghafal teori, tetapi juga membentuk pribadi yang jujur, santun, berempati, dan mampu hidup berdampingan dengan sesama. Seperti pesan Ki Hajar Dewantara “ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.”

Tentu, transformasi guru tidak boleh dibebankan hanya pada pundak individu. Pemerintah perlu lebih dari sekadar meluncurkan dokumen kurikulum, pelatihan berkelanjutan yang menyentuh kebutuhan nyata guru mutlak diperlukan. Madrasah dan sekolah juga harus menciptakan budaya belajar bagi guru, agar ruang inovasi tidak pernah padam. Dan masyarakat, khususnya orang tua, seyogyanya ikut terlibat aktif, sehingga pendidikan karakter tidak berhenti di ruang kelas, melainkan berlanjut di rumah dan lingkungan sekitar.

Saya percaya, jika guru mampu memadukan kecerdasan intelektual dengan ketulusan hati, maka nama kurikulum tidak lagi menjadi soal. Mau disebut apa pun, pendidikan tetap akan sampai pada tujuan mulianya: melahirkan generasi yang cerdas, berkarakter, dan berakhlak mulia. Kurikulum memang bisa berubah-ubah, tetapi semangat guru sejati seharusnya tetap sama mendidik dengan ilmu, hati, dan teladan.

Related Articles

Back to top button