GURUNYA MANUSIA: Serpihan Gagasan Memperbaiki Mutu Guru Muhammadiyah

 GURUNYA MANUSIA: Serpihan Gagasan Memperbaiki Mutu Guru  Muhammadiyah

Memasuki era revolusi industry 5.0, salah satu bahasan yang cukup banyak diperbincangkan ialah bagaimana mesin dan robot saat ini telah banyak mengambil alih pekerjaan manusia. Para siswa saat ini dituntut untuk memiliki sejumlah kompetensi dan kapabilitas agar dapat bersaing untuk menciptakan dan mencari pekerjaan hari ini dan masa depan. Namun, kenyataannya tak hanya pelajar yang harus meng-upgrade kemampuan dan kecakapannya, para guru pun harus bertransformasi mengikuti perkembangan zaman.

Berdasarkan pengkajian dan penelitian penulis tentang Multiple Intelligences  bahwa, dampak langsung dari revolusi industri 5.0 begitu terlihat dalam bidang pendidikan, tak terkecuali pendidikan Muhammadiyah. Pada proses pendidikan dan belajar-mengajar, di mana guru bukan lagi satu-satunya sumber informasi bagi siswanya.  Internet dan “media sosial dan berbagai macam aplikasi menjadi sumber informasi yang lebih cepat dan akurat daripada sosok guru. Sampai-sampai, tugas mengajar sudah digantikan oleh robot atau hologram teacher. Inilah tantangan yang harus dihadapi oleh banyak guru di seluruh dunia.

Pada tulisan ini  penulis beri judul “Gurunya Manusia: Serpihan Gagasan Memperbaiki Mutu Guru Lembaga Pendidikan Muhammadiyah”. Sejumlah cara agar peran guru senantiasa dirindukan oleh siswa dan tak terganti oleh hologram teacher, media sosial dan mbah google yaitu:

Pertama, membangun relasi positif guru dan siswa. Membangun relasi positif dengan siswa menjadi kemampuan penting yang perlu dikuasai oleh para guru agar perannya tidak digantikan oleh robot. Relasi dapat tumbuhkan melalui komunikasi satu arah, melainkan komunikasi dua arah. Dengan komunikasi dua arah, maka guru akan tahu apa saja kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh siswanya. Tak sekadar mengenal siswa dari nilainya, tetapi mengenal nama, rumah, kesulitan dan kesukaan dalam belajar, cita-cita hidupnya dan lainnya. Guru adalah orang yang membantu siswa agar mereka dewasa dan mampu mencapai tujuan pendidikannya.

Kedua, sikap keras membuat guru ditinggalkan”Guru yang keras akan ditinggalkan siswanya, guru yang tegas akan dirindukan oleh siswanya”. Guru yang keras digambarkan dengan guru yang “galak”, gemar berteriak, dan senang mengomel tanpa mau tahu apa kesulitan yang dialami oleh siswa. Namun, guru tegas akan memberikan sanksi sesuai dengan bukti dan kapasitas siswa, meskipun tegas memberikan kritik, tetapi membimbing siswa untuk memperbaiki diri dan belajar lebih baik. Termasuk memberikan penghargaan atas prestasi yang didapat oleh siswa.

Ketiga, semua siswa adalah bintang. Guru perlu memiliki pemahaman bahwa setiap anak terlahir “cerdas”, hanya saja bidang yang dikuasai anak bisa saja berbeda satu sama lain. Ada anak yang senang matematika, bahasa, atau fisika, agama, olahraga, menyanyi, menggambar dan lainnya. Kecerdasan adalah kemampuan individu untuk menyelesaikan masalah tertentu dalam bidang tertentu, tidak harus semua bidang. Karena itu, guru harus menganggap semua siswanya adalah bintang. Jika hal ini dilakukan, maka siswa akan mempunyai rasa percaya diri, berani dan terbantu untuk mewujudkan kepiawaiannya dan menjadi diri sendiri sehingga mereka mampu belajar secara maksimal atas dukungan guru, orang tua dan orang-orang disekitarnya. Nabipun, melarang orang tua, guru mengolok-olok siswa, atau melarang antar siswa  saling mengolok-olok, hal ini akan menyulut emosi dan tindakan negatif yang tidak baik. Guru, orang tua harus mencegah siapapun yang mengolok-olok, supaya mereka tenang dan tentram dan berani percaya diri untuk melakukan aktivitas belajar berbagai hal.

Keempat, fokus guru pada kelebihan siswa, walau kelebihan siswa sekecil debu, guru sebagai sosok pengajar perlu fokus untuk menggali kelebihan itu agar siswa tumbuh menjadi pribadi yang mudah berprestasi dan bukannya rendah diri (minder). “Pujian anak dengan label-label positif “kamu bisa, kamu hebat, kamu luar biasa, kamu saleh-shalihah menjadi label positif pada anak., jangan lihat nakalnya, jangan lihat nilai jeleknya, jangan lihat mbelernya, jangan labeli ndablegnya. Fokus pada kelebihannya,” ujar Katni. Dengan begitu, anak akan termotivasi untuk terus memperbaiki diri dan tidak termakan “sugesti” bahwa ia tidak bisa atau tidak cerdas;

Kelima,  kemampuan siswa walaupun seluas samudera, saat guru menganggap siswa adalah bintang, maka otomatis guru akan memandang kemampuan siswanya seluas samudera, yaitu sikap, keterampilan dan pengetahuan. Dengan begitu, siswa memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi minat dan bakatnya sehingga lebih mudah berprestasi menjadi juara. Guru pun menjadi pendidik yang akan melahirkan siswa-siswa berprestasi dari beragam bidang baik itu bidang akademik dan non akademik.

Keenam, guru penting memahami multiple intelligences siswa. Sudah saatnya guru ucapkan selamat tinggal untuk kecerdasan tunggal, nilai anak-anak tidak hanya berdasarkan angka atau “kasta”, melainkan dilihat dari banyak hal. Kecerdasan kognitif saat ini telah mengalami penyempitan makna, yaitu dipersempit menjadi nilai dan “kasta”. “Anak-anak cerdas adalah anak yang nilainya di atas 8, atau anak IPA lebih pintar dari IPS. Itu adalah anggapan keliru para guru. Bila guru memahami bahwa kecerdasan bukan dilihat dari angka atau kasta, maka guru akan memiliki peluang lebih besar menstimulus siswa lebih berprestasi di berbagai bidang yang dimiliki siswa. Sekolah akan mengantongi banyak prestasi siswa dan kejuaraan di berbagai bidang.

Ketujuh, siswa adalah subjek bukan objek pendidikan. Bila guru menjadikan siswa sebagai objek pendidikan, maka guru akan menuntut siswa untuk mengikuti pelajaran yang diberikan guru. Namun, bila guru menganggap siswa sebagai subyek pendidikan, materi yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan siswa. Termasuk melibatkan siswa dalam proses belajar dan memperhatikan bakat dan minat siswanya, siswalah yang aktif membaca, siswalah yang aktif mengerjakan, menerangkan pelajaran, mendiskusikan, mengklasifikasi berbagai persoalan dan memecahkan masalah pelajaran, bukan guru yang terlalu banyak ceramah. Sudah saatnya waktu terbesar 70% diberikan untuk siswa beraktifitas, presentasi, mengambar, menjodohkan, membaca, mencari (menemukan), mengujicoba, berdiskusi, merumuskan jawaban bersama kelompok, berkoordinasi antar teman, musyawarah dalam kelompok dan lainnya. Waktu guru hanya 30% yang harus digunakan dakan perannya sebagai fasilitator, motivator, inspirator, edukator, evaluator, mediator pembelajaran. Semoga bermanfaat, jika baik sebarkan kebaikan, semoga menjadi jariyah ilmu bagi kita semua. *

 

*Dr. Katni, M.Pd.I,  Dosen FAI Unmuh Ponorogo, Wakil Sekretaris Majelis Dikdasmen PDM Ponorogo.

Related post