Apakah Feodalisme Ada dalam Muhammadiyah?
Penulis Memo Valentino Hutagaol, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memusatkan kekuasaan di tangan kaum bangsawan atau meninggikan status di atas prestasi. Budaya feodalisme mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, yang merupakan warisan dari era kerajaan. Budaya ini menganut sistem patron-klien yang sangat mirip dengan sistem yang ada di masyarakat Jepang. (Situmorang, 1995, hal. 18-20).
Secara umum, feodalisme adalah struktur masyarakat abad pertengahan dan tahap perkembangan sosial serta ekonomi yang berkembang sebelum munculnya kapitalisme. Dengan demikian, feodalisme memberikan stabilitas dalam masyarakat, memulihkan ketertiban umum, dan memerkuat monarki.
Dalam dunia modern saat ini, muncul istilah Fedoalisme gaya baru. Menurut sastrawan muda Heru Joni Putra, feodalisme gaya baru yakni dimana kebebasan mengritik, menyampaikan pendapat menjadi tersumbat akibat munculnya rasa takut dan posisi yang lebih rendah.
“Kita takut mengritik dosen karena takut dinilai rendah atau kita tidak mungkin mengritik orang karena memiliki hutang budi. Itulah kultur feodal, kalau demokrasi tidak ada lagi pikiran seperti itu, ada kesamaan dalam berpikir”.
Konsep feodalisme baru berkaitan erat dengan istilah regenerasi. Regenerasi seharusnya memfasilitasi keterlibatan generasi muda secara berkelanjutan. Dalam praktiknya, istilah ‘regenerasi’ telah menjadi alat untuk membenarkan pembungkaman generasi muda dengan alasan ‘membina’ mereka, dan hasilnya pembinaan sering kali berbentuk pembungkaman.
Masyarakat Feodal menghasilkan dua tipe manusia. Pertama, manusia dengan mental atasan selalu ingin ada di posisi atas, selalu ingin didengar dihormati dan tidak ingin posisi tersebut terganggu legitimasinya. Kedua, Sedangkan mempunyai mental yang tidak percaya diri, selalu merasa rendah diri . Ia seringkali dituntut untuk bersikap sopan oleh manusia tipe pertama walaupun sedang diperlakukan secara tidak adil. Manusia tipe kedua akan cenderung mempunyai sifat penjilat, selalu memuji-muji orang tipe pertama dengan istilah ‘asal abang suka, siap abang laksanakan’.
Pertanyaannya, apakah Muhammadiyah bersistem feodal dalam organisasi dan perkaderannya?
Dalam beberapa kasus, telah terjadi pergeseran kepemimpinan yang signifikan dalam persyarikatan ini, di mana semua pihak menolak untuk menjabat sebagai ketua, kemudian saling menolak satu sama lain. Tradisi yang telah terbentuk dan menjadi kesadaran kolektif dalam Muhammadiyah adalah tidak meminta jabatan, melainkan menerima mandat jabatan ketika ditawarkan. Hal ini berkontribusi pada kekuatan dan otonomi Muhammadiyah sebagai organisasi Islam, yang menjamin kemandiriannya dari pengaruh eksternal.
Para pemimpin Muhammadiyah adalah individu-individu yang tulus dalam upaya mereka untuk memajukan dakwah Islam, dengan niat semata-mata untuk mencari keridhaan Allah SWT. Proses perubahan struktur kepengurusan Muhammadiyah tidak mencakup pemilihan Ketua Umum (Ketum), melainkan pemilihan Pimpinan Muhammadiyah. Di tingkat Pimpinan Wilayah, 11 orang dari total 33 calon telah dipilih oleh anggota Musyawarah Wilayah (Musywil) untuk secara langsung menjadi kumpulan calon yang telah disahkan. Setiap anggota Muktamar bertanggung jawab untuk memilih 11 orang dari daftar calon tetap untuk menjadi pimpinan persyarikatan.
Pemilihan kandidat posisi Ketum dilakukan oleh 11 orang terpilih. Tidak diperlukan suara terbanyak untuk menentukan hasilnya. Semua anggota formatur yang terpilih memiliki kesempatan untuk menjadi Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah. Sistem ini telah digunakan selama beberapa periode kepemimpinan dan telah berperan penting dalam mencegah perpecahan dan perselisihan di dalam Muhammadiyah. Sistem ini juga telah memfasilitasi konsolidasi Muhammadiyah sebagai organisasi Islam, yang ditandai dengan komitmen yang teguh terhadap pengamalan ajaran Islam yang berkaitan dengan kepemimpinan.
Seperti yang diamati oleh Abdul Mukti, Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah, kepemimpinan Muhammadiyah tidak ditentukan oleh individu-individu, melainkan oleh sistem itu sendiri. Sistem ini didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam. Mengemban peran sebagai pemimpin daerah Muhammadiyah bukanlah masalah kecenderungan pribadi. Melainkan sebuah tanggung jawab yang harus diterima jika dianggap sebagai panggilan ilahi.
Hal ini menunjukkan bahwa jalan untuk menjadi seorang pemimpin Muhammadiyah biasanya tidak melibatkan kampanye yang ekstensif atau bentuk-bentuk manuver politik lainnya.
Sistem perkaderan ortom Muhammadiyah, bisa dilihat salah satu contoh ketika di usia pelajar ia hanya ikut Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan ketika dia di mahasiswa ia mengikuti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) mungkin secara bersamaan mereka juga mengikuti Pemuda Muhammadiyah, namun culture di IPM, IMM, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah akan menemukan titik perbedaan maka dengan hal ini apakah disamakan ketika kader di IMM harus mengawali kembali sistem perkaderan di Pemuda Muhammadiyah padahal yang di Pemuda Muhammadiyah tidak jaminan lebih matang konsep ideologinya.
Hal tersebut menujukkan betapa pentingnya memahami kader kultural Muhammadiyah. Di semua jenjang Organisasi Otonom (Ortom) tidak pernah ada sistem yang lebih senior menidas junior dan yang junior menjadi penjilat agar menjadi pimpinan kelak. Karena sejak dini awal perkaderan bisa dilihat dalam Taruna Melati 1 IPM, kita semua belajar berpendapat, bertanya, berpikir kritis dengan simulasi-simulasi seperti di ruang persidangan dan ruang diskusi. Sampai dijenjang selanjutnya, di semua unsur Ortom semua boleh berpendapat apa saja asalkan berdasar dan untuk kebaikan Muhammadiyah ke depan.
Contoh Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani PDM Ponorogo yang setiap tig bulan sekali membuat acara ngopi dan diskusi bersama Ortom dan kader. Semua unsur dilibatkan dengan tujuan kebersamaan dan forum diskusi antar Ortom dapat terjalin sehingga problem feodalisme yang ada di masyarakat dapat terkikis sedikit demi sedikit.