Ponorogo Jadi Tuan Rumah Acara Regional Meeting 2025, Begini Persiapannya
Menjawab Tantangan Literasi: GESIMA dan Ikhtiar Membangun Budaya Membaca

Dokumentasi Kepala MIM 14 Prestisius, Miftahul Rahman, S.Pd.
Penulis: Miftahul Rahman, S.Pd
Kepala MIM 14 Prestisius Ponorogo
Membaca adalah jendela dunia. Ungkapan ini sering kita dengar, tetapi sayangnya masih sebatas slogan. Minat baca di negeri ini, baik di kalangan siswa maupun masyarakat umum, masih jauh dari harapan. Data dari berbagai penelitian menunjukkan, indeks literasi kita tertinggal dibanding banyak negara lain. Fakta ini jelas tidak boleh dibiarkan.
Ironisnya, di era digital justru gawai lebih akrab di tangan anak-anak ketimbang buku. Mereka sanggup berjam-jam menatap layar, tapi enggan membaca satu bab pun. Orang tua pun, sebagian besar, belum menempatkan literasi sebagai kebutuhan pokok. Gadget terbaru lebih diprioritaskan daripada koleksi bacaan. Pertanyaannya, bagaimana sekolah menjawab tantangan ini?
Sebagai kepala MIM 14 Prestisius Ponorogo, saya meyakini bahwa kondisi ini adalah tantangan yang harus dijawab dengan inovasi. Madrasah tidak boleh sekadar berputar dalam rutinitas pembelajaran, tapi juga hadir dengan program yang menanamkan kebiasaan baik. Dari keresahan itulah, lahir GESIMA yakni Gerakan Siswa Gemar Membaca.
Mulai Senin (1/9/25), program ini menyasar siswa kelas 4–6. Teknisnya sederhana, setiap awal bulan siswa wajib meminjam satu buku dari perpustakaan, membawanya pulang, lalu membaca secara bertahap. Setiap hari, mereka mencatat halaman yang dibaca di lembar kontrol. Di akhir bulan, mereka bercerita kembali di depan kelas. Dari sini, mereka dilatih bukan hanya membaca, tetapi juga berbicara, mengingat, bahkan berani tampil di depan umum.
Apresiasi tetap kami hadirkan. Reward bagi yang terbaik setiap bulan akan menjadi pemicu. Namun lebih penting dari itu, yang ingin kami bangun adalah kebiasaan. Sebab membaca yang dilakukan secara rutin akan menjelma menjadi kebutuhan. Bahkan, tahap berikutnya, anak-anak akan ditantang menulis esai dari buku yang mereka baca. Maka literasi bukan sekadar membaca, tetapi memahami, berbicara, dan menulis.
Mengapa ini penting? Karena literasi bukan hanya soal mengenal huruf. Literasi adalah keterampilan hidup, yakni membangun kosakata, melatih nalar kritis, menumbuhkan imajinasi. Anak yang terbiasa membaca akan lebih siap menghadapi zaman, lebih mudah menyerap ilmu, dan lebih kreatif dalam menyelesaikan persoalan.
Saya sadar, GESIMA hanyalah ikhtiar kecil. Tapi saya yakin, dampaknya akan besar jika dijalankan konsisten, terutama dengan dukungan orang tua dan lingkungan. Madrasah tidak bisa sendirian. Orang tua harus ikut mengawasi, memastikan anak benar-benar membaca. Masyarakat pun perlu menciptakan atmosfer yang ramah literasi.
Membangun budaya membaca adalah perjalanan panjang, bukan proyek instan. Tapi setiap langkah kecil akan membawa perubahan besar. Lewat GESIMA, kami ingin menegaskan bahwa madrasah bukan sekadar tempat belajar akademik, melainkan ruang pembentukan karakter.
Mari kita jadikan membaca sebagai budaya. Karena dari kebiasaan sederhana inilah lahir generasi yang cerdas, kritis, berkarakter, dan siap mewarnai peradaban bangsa.