
Kesempurnaan Manusia dan Urgensi Kolaborasi
Penulis Abdul Rhosid, Sekretaris Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Ponorogo
Manusia diciptakan Allah SWT sebagai makhluk paling sempurna dibanding ciptaan lainnya. Dengan akal, hati, dan potensi ruhani yang tinggi, manusia diberi amanah sebagai khalifah di muka bumi. Dalam berbagai literatur ilmiah dan keislaman, manusia kerap dipandang sebagai makhluk paling sempurna, bukan hanya dari aspek fisik, tetapi juga kognitif, spiritual, sosial, dan moral.
Al-Qur’an menegaskan hal ini dalam surat At-Tin ayat 4:
“Laqad khalaqnal insaana fii ahsani taqwiim” – “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Dari sudut pandang ilmiah, manusia unggul dalam beberapa aspek utama:
Pertama: Studi neurosains menyebut otak manusia memiliki kapasitas luar biasa dalam berpikir abstrak, merencanakan masa depan, membuat keputusan kompleks, dan menggunakan bahasa simbolik (Gazzaniga, 2008). Ini menunjukkan kemampuan kognitif yang tinggi.
Kedua: Menurut Lawrence Kohlberg (1981), manusia melalui tahapan perkembangan moral yang memungkinkan mereka membuat penilaian etis dan bertanggung jawab secara sosial. Ini mencerminkan kemampuan moral dan etika.
Ketiga: Dalam psikologi transpersonal dan filsafat eksistensial, manusia memiliki dimensi spiritual—kesadaran diri, makna hidup, dan hubungan dengan yang transenden (Maslow, 1968). Dalam Islam, ini disebut fitrah, yakni potensi untuk mengenal Allah. Ini menunjukkan potensi ruhani dan kesadaran diri.
Keempat: Sosiolog seperti Emile Durkheim menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang menciptakan norma, nilai, dan sistem sosial kompleks. Kemampuan membentuk masyarakat dengan hukum, pendidikan, dan budaya menunjukkan kemampuan sosial dan berorganisasi.
Meski diciptakan sebagai makhluk paling sempurna, manusia tidak bisa hidup sendiri. Kesempurnaan itu tidak berarti kemandirian mutlak, justru mencerminkan kesadaran akan pentingnya hidup bersama, berinteraksi, dan membangun hubungan sosial.
Dalam psikologi dan sosiologi, manusia dikenal sebagai makhluk sosial (homo socius). Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politikon, makhluk yang secara alamiah hidup dalam komunitas. Kebutuhan berinteraksi bersifat tidak hanya praktis, tapi juga emosional dan eksistensial. Teori Abraham Maslow menempatkan rasa memiliki dan cinta sebagai kebutuhan dasar setelah kebutuhan fisiologis dan keamanan.
Secara biologis, manusia juga memiliki sistem saraf sosial untuk merespons hubungan interpersonal seperti empati, kerja sama, dan komunikasi. Dalam konteks ini, kesempurnaan manusia justru menciptakan kebutuhan akan orang lain untuk berkembang dan mempertahankan eksistensinya.
Sejak awal penciptaan, Allah SWT menegaskan bahwa manusia tidak diciptakan untuk hidup sendiri. Banyak ayat Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling terikat. Dalam urusan dunia, ibadah, hingga perjuangan menegakkan kebaikan, manusia membutuhkan kebersamaan.
Salah satu penegasan itu tercantum dalam Surat Ali Imran ayat 104:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Ayat ini menunjukkan bahwa kebaikan bukan urusan pribadi semata. Mengajak kepada kebenaran dan mencegah kemungkaran harus dilakukan secara berjamaah—kolektif, terorganisir, dan berkesinambungan.
Hal ini sejalan dengan fitrah manusia yang tidak dapat menyelesaikan tugas hidupnya sendiri. Dalam aspek sosial, manusia butuh berbagi peran; dalam aspek spiritual, manusia diperintahkan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran (QS. Al-‘Ashr); dan dalam perjuangan, Islam menekankan pentingnya barisan yang rapi dan kokoh (QS. As-Saff: 4).
Maka, meski manusia diciptakan dalam bentuk terbaik (QS. At-Tin: 4), kesempurnaan itu tidak dimaksudkan untuk menjadikannya terisolasi. Justru, manusia menjadi sempurna saat mampu hidup bersama, membangun peradaban, dan saling menguatkan dalam menegakkan nilai-nilai kebaikan. Inilah esensi ajaran Islam, bahwa kebaikan harus diperjuangkan bersama.
Dengan berjamaah, tugas berat menjadi ringan. Dengan kebersamaan, potensi besar umat bisa dioptimalkan. Maka, kesempurnaan manusia akan bermakna ketika diwujudkan dalam kerja sama, kepedulian, dan harmoni.
Oleh karena itu, kolaborasi adalah kunci utama. Melalui kolaborasi, potensi manusia bisa saling melengkapi: ilmu berpadu dengan aksi, pengalaman bertemu inovasi, dan semangat bersinergi dengan strategi. Tanpa kolaborasi, amanah kekhalifahan terasa berat dan sulit ditunaikan. Tapi dengan kebersamaan, tugas itu menjadi ladang amal dan jalan menuju kemuliaan.
Menjadi khalifah di muka bumi bukan sekadar soal kepemimpinan, tetapi tentang tanggung jawab kolektif menciptakan kehidupan yang adil, berkelanjutan, dan berlandaskan tauhid. Itulah bentuk pengabdian tertinggi manusia kepada Tuhannya: menjalankan peran sosial dalam sinergi, iman, takwa, dan amanah.



