
Dilematis Sekolah Muhammadiyah: Mendirikan yang Baru atau Menyelamatkan yang Lama?
Penulis : Abdul Rhosid SE
Lembaga pendidikan Muhammadiyah pernah menjadi ujung tombak kebangkitan bangsa melalui dunia pendidikan. Dengan semangat tajdid (pembaruan), sekolah-sekolah Muhammadiyah berdiri kokoh di berbagai pelosok negeri, menghadirkan pendidikan yang unggul, religius, dan membebaskan.
Pada masanya, lembaga-lembaga ini menjadi pionir dalam menyatukan nilai-nilai keislaman dengan wawasan keilmuan modern. Tak sedikit alumni dari sekolah Muhammadiyah yang menjadi tokoh nasional, pemimpin masyarakat, dan cendekiawan Muslim terkemuka.
Stagnasi Inovasi, Guru Muda Terkekang
Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa tidak sedikit dari sekolah-sekolah Muhammadiyah yang mulai meredup pamornya. Kemajuan teknologi, perubahan karakter peserta didik, serta tuntutan zaman yang semakin kompleks menuntut inovasi dan adaptasi yang cepat. Sayangnya, banyak lembaga pendidikan Muhammadiyah yang gagal membaca arah perubahan ini.
Pola pikir sebagian guru dan pengelola senior masih sangat kuat mempertahankan cara-cara lama.
Metode pengajaran tradisional, sistem manajemen konvensional, dan budaya organisasi yang kurang terbuka terhadap gagasan baru membuat dinamika sekolah menjadi stagnan. Alih-alih menjadi pusat pembaruan seperti semangat awalnya, beberapa sekolah justru terjebak dalam zona nyaman masa lalu. Situasi ini membuat banyak guru-guru muda yang idealis dan penuh semangat justru merasa tidak menemukan ruang tumbuh.
Gagasan-gagasan segar dan pendekatan pembelajaran yang relevan dengan zaman kerap tidak mendapat tempat. Akibatnya, banyak dari mereka yang memilih hengkang, bergabung dengan sekolah-sekolah lain yang lebih adaptif, atau bahkan mendirikan sekolah baru dengan semangat dan nilai-nilai serupa yang lebih progresif.
Ditengah dinamika dunia pendidikan yang terus berubah, guru-guru muda tidak hanya hadir dengan idealisme, tapi juga dengan sikap yang realistis terhadap masa depan mereka. Mereka menyadari bahwa pengabdian dan loyalitas saja tidak cukup bila tidak dibarengi dengan kepastian arah pengembangan karier, lingkungan kerja yang sehat, serta dukungan terhadap kompetensi dan inovasi.
Sayangnya, banyak sekolah Muhammadiyah lama belum mampu memberikan ekosistem yang mendukung hal-hal tersebut. Resistensi terhadap perubahan, minimnya regenerasi struktural, manajemen yang stagnan, dan budaya kerja yang tidak progresif membuat guru-guru muda merasa terjebak dalam ruang yang sempit. Mereka khawatir jika tetap bertahan, masa depan mereka akan stagnan atau bahkan tertinggal dari perkembangan dunia pendidikan yang semakin kompetitif.
Tidak sedikit dari guru-guru muda yang akhirnya memilih keluar, bukan karena tidak cinta Muhammadiyah, tetapi karena mereka tidak melihat adanya keberpihakan terhadap pengembangan diri dan masa depan mereka di sekolah lama. Mereka membutuhkan ruang untuk bertumbuh, menciptakan karya, dan berinovasi, sesuatu yang sulit mereka dapatkan jika terus dihadapkan dengan sistem yang tertutup dan kurang responsif terhadap zaman.
Akibatnya, sekolah-sekolah Muhammadiyah lama makin kehilangan daya tariknya, baik dari sisi SDM maupun minat peserta didik. Sementara itu, sekolah baru yang lebih terbuka terhadap perubahan, berani bereksperimen, dan adaptif terhadap teknologi justru menarik perhatian guru-guru muda sekaligus kepercayaan masyarakat.
Dalam beberapa tahun terakhir, munculnya sekolah-sekolah Muhammadiyah baru sering dipandang sebagai angin segar dalam dunia pendidikan persyarikatan. Sekolah-sekolah baru ini hadir dengan semangat pembaruan, pendekatan yang lebih adaptif, serta manajemen yang responsif terhadap perkembangan zaman.
Guru-guru muda yang sebelumnya merasa terkungkung di sekolah Muhammadiyah lama kini menemukan ruang berekspresi dan berinovasi. Tak sedikit dari sekolah baru ini yang langsung melesat dalam kualitas maupun citra di mata masyarakat.
Sekilas, fenomena ini tampak sebagai solusi strategis atas stagnasi yang dialami sebagian sekolah Muhammadiyah lama. Namun, di balik semangat pembaruan itu, muncul kesenjangan yang semakin terasa.
Sekolah Lama Tertinggal, Regenerasi Mandek
Sekolah-sekolah Muhammadiyah lama, yang dahulu pernah berjaya dan berkontribusi besar terhadap pendidikan umat, kini justru terpinggirkan. Banyak dari mereka yang tidak lagi mendapat perhatian serius, baik dari internal persyarikatan maupun masyarakat umum.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya regenerasi yang sehat di tubuh sekolah lama. Guru-guru muda yang idealis dan potensial lebih memilih bergabung dengan sekolah baru, meninggalkan sekolah lama yang masih terkungkung pada pola-pola lama dan resistensi perubahan. Akibatnya, jurang antara sekolah baru dan sekolah lama makin lebar dalam hal kualitas, semangat, bahkan dalam hal loyalitas warga persyarikatan sendiri.
Bukan Kompetisi tapi Kolaborasi
Ini menjadi peringatan penting bahwa mempertahankan pola lama bukan hanya persoalan metode, tapi juga berdampak pada keberlangsungan SDM strategis yang sejatinya menjadi aset masa depan persyarikatan. Sekolah Muhammadiyah harus mulai membuka diri terhadap transformasi, tidak hanya untuk bertahan, tetapi agar tetap relevan dan menjadi pilihan utama di tengah kompetisi pendidikan yang semakin ketat.
Sekolah yang mampu bertumbuh adalah sekolah yang mampu mendengarkan, memberi ruang, dan membangun harapan bagi guru-gurunya, terutama mereka yang muda, bersemangat, dan membawa energi perubahan.
Pendirian sekolah Muhammadiyah baru seharusnya tidak menjadi solusi tunggal yang justru meninggalkan masalah lain di belakang. Idealnya, semangat pembaruan yang dibawa sekolah baru harus dibarengi dengan komitmen membangun dan merevitalisasi sekolah lama. Keduanya bukan untuk dipertentangkan, tapi harus menjadi bagian dari strategi kolaboratif untuk memperkuat sistem pendidikan Muhammadiyah secara utuh.
Karena pada dasarnya, kejayaan pendidikan Muhammadiyah tidak akan bertahan hanya dengan membangun yang baru dan melupakan yang lama. Justru dengan merangkul kembali sekolah-sekolah Muhammadiyah yang telah lebih dahulu berjuang, sembari menyuntikkan semangat inovasi, kita bisa membangun ekosistem pendidikan yang berkelanjutan, adil, dan penuh berkah.
Ini harus menjadi perhatian serius bagi keberlangsungan dan eksistensi pendidikan Muhammadiyah ke depan. Kejayaan masa lalu tidak bisa menjadi jaminan jika tidak ada keberanian untuk berubah dan berbenah. Lembaga pendidikan Muhammadiyah harus kembali pada ruh tajdid-nya, semangat pembaruan, dengan membuka diri terhadap inovasi, memperkuat kolaborasi lintas generasi, serta menciptakan ekosistem yang sehat bagi guru-guru muda untuk tumbuh dan berkontribusi.
Sekolah Muhammadiyah Baru: Segar, tapi Rapuh?
Di sisi lain, meskipun kehadiran sekolah-sekolah Muhammadiyah baru membawa semangat baru dan menawarkan pendekatan yang lebih segar, tidak serta-merta mereka mendapatkan kepercayaan penuh dari masyarakat. Inovasi dan gagasan progresif memang penting, namun masyarakat tetap menilai sekolah berdasarkan hasil nyata, kualitas lulusan, sarana prasarana, stabilitas manajemen, serta rekam jejak yang dapat dipercaya.
Inilah tantangan utama bagi sekolah Muhammadiyah baru. Semangat perubahan belum tentu sejalan dengan daya dukung sumber daya yang dimiliki. Mendirikan sekolah berkualitas tidak cukup hanya dengan niat baik dan visi idealis. Dibutuhkan investasi besar, baik dalam bentuk infrastruktur, pengembangan SDM, sistem manajemen, hingga promosi yang berkelanjutan. Tanpa dukungan dana yang kuat, sekolah baru sering kali terjebak dalam kesenjangan antara cita-cita dan kenyataan operasional.
Lebih dari itu, masyarakat cenderung memilih lembaga pendidikan yang telah terbukti dan stabil. Sekolah baru sering kali dianggap “eksperimen” yang belum teruji. Mereka harus bekerja dua kali lebih keras untuk membuktikan kredibilitasnya, apalagi jika berada dalam lingkungan yang sudah memiliki sekolah Muhammadiyah lama yang historis dan lebih dikenal.
Tajdid Sejati: Reformasi yang Menyatu
Realitas ini menunjukkan bahwa transformasi pendidikan Muhammadiyah tidak bisa hanya bergantung pada pendirian sekolah baru. Sebaliknya, dibutuhkan strategi menyeluruh: membina yang lama, membangun yang baru, dan menyatukan keduanya dalam satu ekosistem yang saling menguatkan. Sekolah Muhammadiyah baru perlu mendapatkan dukungan pembiayaan, pendampingan, dan penguatan jaringan; sementara sekolah lama harus diberi ruang revitalisasi agar tidak ditinggalkan oleh sejarah.
Inovasi tanpa dukungan sumber daya yang memadai akan sulit bertahan. Sebaliknya, sumber daya yang besar tanpa semangat perubahan hanya akan memperpanjang stagnasi. Oleh karena itu, membangun pendidikan Muhammadiyah yang tangguh di masa depan harus didasarkan pada keseimbangan antara idealisme, strategi, dan keberlanjutan sumber daya.
Kini saatnya pendidikan Muhammadiyah menatap masa depan, bukan hanya mengenang kejayaan masa silam. Dengan keberanian untuk bertransformasi, sekolah-sekolah Muhammadiyah masih sangat mungkin kembali menjadi pelita peradaban di tengah derasnya arus zaman.



