
Di RSUM, yang Disembuhkan Bukan Cuma Tubuh, Hatinya Ikut Dielus di Masjid Ibnu Sina
Penulis: Abdul Ghoni Mahmudi || TMC Muhammadiyah Ponorogo
Rumah sakit selalu memiliki suasana yang sulit didefinisikan: antara harapan dan kecemasan, doa yang lirih dan suara sepatu dokter yang cepat. Tapi di RSUM Ponorogo, ada satu ruang yang bekerja diam-diam, tidak tercatat dalam rekam medis, tidak muncul dalam grafik kunjungan pasien, namun pengaruhnya sering lebih besar daripada obat generik mahal: Masjid Ibnu Sina.
Masjid ini seperti jeda di tengah keramaian-pikuk. Ia tidak menagih apa-apa dari para tamunya. Tidak bertanya apa diagnosismu, siapa yang kamu tunggu, atau berapa lama kamu sudah berjaga. Begitu masuk, suasananya langsung menurunkan nada hati. Karpetnya bersih, wudhunya harum, dan cahayanya lembut, semacam pelukan sunyi untuk orang-orang yang sedang menahan napas menghadapi takdir. Di sini, orang yang kuat bisa rapuh, dan orang yang rapuh tidak merasa aneh.
Dan rupanya, ruang teduh ini bukan hanya tempat sujud. Masjid Ibnu Sina telah berkembang menjadi pusat kemanusiaan kecil yang mungkin tidak bisa dibesar-besarkan, namun dijalankan dengan keikhlasan yang sulit dicari tandingannya.
Salah satu contohnya adalah Program Jumat Berkah . Di dunia yang kadang pelit senyum, masjid ini justru royal memberikan nutrisi hati dan nutrisi perut sekaligus. Setiap Jumat, jamaah bisa berdetak menu khas Ponorogo yang biasanya hanya ditemukan di acara syukuran atau rumah makan yang antreannya mengular. Ada Gule yang aromanya bikin orang lupa sedang mengurus administrasi pasien, Soto yang kuahnya seperti pesan damai, Sate yang tidak kalah dari kuliner legendaris kota ini, Bakso yang rasanya menenangkan kalbu, sampai Rendang yang muncul bagai kejutan di pagi penuh harapan. Semuanya disajikan cuma-cuma, bukan sebagai ketidakseimbangan, tapi sebagai hadiah kecil untuk manusia yang sedang membawa beban.
Masjid ini juga punya cara unik merawat harapan di waktu yang paling sepi: Gerakan Subuh Berjamaah . Saat banyak orang masih berdamai dengan alarmnya, Masjid Ibnu Sina sudah menggelar kehangatan pagi. Usai shalat, jamaah disuguhi sarapan gratis yang rasanya tidak kalah dari warung favorit. Ada juga sayur gratis untuk dibawa pulang, detail kecil yang bagi sebagian orang terasa seperti doa yang bisa dimakan. Dan yang paling mencairkan hati: anak-anak yang berjamaah diberi uang saku. Seperti pesan lembut, “Terima kasih sudah datang, Nak. Semoga kamu tumbuh menjadi manusia yang baik.”
Di tempat ini, memanusiakan manusia tidak dijadikan slogan, melainkan kebiasaan. Tidak ada baliho besar yang menyebut “RSUM Humanis”, yang ada adalah pelayanannya, suasananya, dan tindakan kecil yang terasa tulus. Karena pada akhirnya, manusia memang membutuhkan dua jenis kesembuhan: yang menguatkan tubuh, dan yang menenangkan jantung.
Dan Masjid Ibnu Sina mengerjakan yang kedua itu dengan sangat rapi.
Mungkin itulah sebabnya banyak orang yang datang ke RSUM pulang bukan hanya dengan tubuh yang lebih baik, tetapi juga hati yang lebih teduh. Di dunia tengah yang kadang sangat kompetitif sampai lupa cara membuat isyarat lembut, masjid ini menjadi pengingat bahwa kebaikan bisa hadir tanpa formalitas, tanpa konferensi pers, tanpa peresmian, cukup lewat sepotong sate, mengumpulkan soto, atau ruang sunyi di tempat seseorang bisa menaruh seluruh kegelisahannya.



