Opini

Paradigma Perkaderan Muhammadiyah: Antara Tradisi Seremonial dan Tuntutan Profesionalitas

Penulis: Abdul Rhosid, SE. || Sekretaris Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Ponorogo

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modernis di Indonesia memiliki tradisi panjang dalam membangun sistem perkaderan. Kaderisasi ditubuh Muhammadiyah sejak awal dirancang untuk melahirkan generasi penerus yang tidak hanya loyal secara ideologis, tetapi juga memiliki kapasitas dalam memimpin amal usaha dan gerakan dakwah. Namun, dinamika sosial politik nasional memberi warna yang berbeda dalam orientasi dan implementasi model perkaderan dari masa ke masa.

Sebelum era Reformasi 1998, pola perkaderan di Muhammadiyah cenderung menekankan pada kegiatan-kegiatan formalistik. Aktivitas kader seringkali terjebak dalam pola seremonial seperti resepsi milad, bakti sosial, dan agenda tahunan lainnya. Orientasi pengkaderan lebih diarahkan pada loyalitas struktural, kepatuhan terhadap instruksi organisasi, dan kesediaan mengabdikan diri dalam kepanitiaan kegiatan.

Paradigma ini membentuk mentalitas kader sebagai “tim pelaksana” yang baik, namun tidak mendorong tumbuhnya kreativitas maupun kemampuan akademis yang lebih luas. Menurut penelitian Alfian (1989) dalam Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization under Dutch Colonialism, Muhammadiyah pada masa itu lebih menekankan penguatan aspek amal sosial dan solidaritas, bukan pada pengembangan kapasitas individu secara profesional.

Reformasi menjadi momentum penting yang menandai lahirnya era keterbukaan informasi dan globalisasi budaya. Pergeseran ini membawa dampak signifikan pada cara masyarakat memandang pendidikan, kompetisi, dan pengembangan diri. Generasi muda mulai terbiasa dengan orientasi pada kompetensi individual: bagaimana menyiapkan diri agar mampu bersaing di tengah derasnya arus globalisasi dan perkembangan profesionalitas.

Riset Zuly Qodir (2010) dalam Gerakan Muhammadiyah dalam Politik: Rekonstruksi Demokrasi dan Civil Society menunjukkan bahwa era reformasi mendorong pergeseran orientasi organisasi masyarakat, termasuk Muhammadiyah, dari sekadar aktivitas seremonial menuju kebutuhan akan kader yang memiliki kapasitas akademis, profesional, dan manajerial.

Namun, meski perubahan sosial sudah sedemikian jauh, agenda perkaderan di Muhammadiyah masih banyak yang terjebak pada paradigma lama. Indikator kader yang baik masih sering diukur dari keberhasilan menyelesaikan tugas teknis dalam kepanitiaan kegiatan. Kaderisasi yang terlalu menekankan doktrinasi formal dan agenda teknis justru menghambat pengembangan kapasitas personal yang relevan dengan tuntutan zaman.

Akibatnya, banyak amal usaha Muhammadiyah (sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi) yang kemudian diisi oleh orang-orang yang menyiapkan kemampuan akademis dan profesionalnya dengan lebih baik. Hal ini mencerminkan adanya kesenjangan antara idealisme kaderisasi dengan realitas kebutuhan profesionalisme di lapangan.

Dalam konteks sekarang, Muhammadiyah memerlukan model perkaderan yang lebih visioner, yaitu:

1. Berorientasi pada kompetensi
Kader dipersiapkan tidak hanya loyal secara ideologis, tetapi juga mampu menjadi profesional dibidang masing-masing.

2. Integrasi antara ideologi dan profesionalitas
Menjaga identitas keislaman dan kemuhammadiyahan, sembari mengembangkan kemampuan akademis, teknologi, dan manajerial.

3. Mengurangi ketergantungan pada seremonial.

Kegiatan formal tetap penting, namun harus berfungsi sebagai media penguatan kapasitas, bukan sekadar pengulangan rutinitas.

Sejalan dengan gagasan Haedar Nashir (2015) dalam Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, perkaderan Muhammadiyah idealnya mengedepankan pembentukan “manusia utama” yang bukan hanya aktivis acara, tetapi intelektual dan profesional yang berintegritas, mampu memimpin dan mengembangkan amal usaha secara kompetitif di era global.

Perbedaan paradigma masa lalu dan masa kini dalam perkaderan Muhammadiyah terletak pada titik tekan: dari orientasi seremonial-formalistik menuju kebutuhan kompetensi-profesional. Reformasi telah membuka jalan perubahan, namun doktrinasi lama yang menekankan loyalitas teknis masih membekas. Oleh karena itu, revitalisasi perkaderan menjadi keniscayaan agar kader Muhammadiyah tidak lagi menjadi “tim pelaksana kegiatan yang terpinggirkan”, melainkan aktor utama dalam membangun peradaban Islam yang berkemajuan.

Related Articles

Back to top button