
Menjaga AUM Tetap di Rel Kaderisasi
Penulis: Abdul Rhosid, SE., Sekretaris MPKSDI PDM Ponorogo
Beberapa tahun terakhir, sejumlah Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) mulai menerapkan sistem open rekrutmen atau penerimaan tenaga kerja terbuka, layaknya lembaga profesional atau perusahaan umum. Dengan alasan efisiensi, transparansi, dan kualitas SDM, mekanisme ini tampak modern dan objektif. Namun di balik itu, ada satu persoalan mendasar yang perlu dikaji secara ideologis: apakah mekanisme tersebut sejalan dengan ruh kaderisasi Muhammadiyah?
Muhammadiyah bukan organisasi yang berdiri di ruang kosong. Ia memiliki sistem pembinaan dan pengkaderan yang terbangun secara historis, sosial, dan kultural. Dalam konteks ini, AUM sejatinya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan instrumen dakwah dan bagian integral dari sistem kaderisasi Persyarikatan. Maka, pola rekrutmen di AUM idealnya tidak mengikuti logika perusahaan umum, melainkan logika kaderisasi Persyarikatan.
Kekuatan Ekosisistem Kaderisasi Muhammadiyah
Sejak berdirinya, Muhammadiyah telah membangun jejaring kaderisasi yang kuat dan luas, mencakup lembaga pendidikan, organisasi otonom (Ortom), dan lembaga sosial. Sekolah Muhammadiyah mencetak generasi yang mengenal nilai-nilai Islam berkemajuan sejak dini. Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) menumbuhkan karakter sosial, empati, dan keikhlasan. Sementara Ortom seperti IPM, IMM, Pemuda Muhammadiyah, dan Nasyiatul Aisyiyah menjadi kawah candradimuka pembentukan ideologi, kepemimpinan, dan semangat perjuangan.
Dengan ekosistem sebesar ini, Muhammadiyah sebenarnya memiliki sumber daya kader yang berlimpah. Jika sistem kaderisasi berjalan baik, AUM tidak perlu mencari tenaga kerja melalui open rekrutmen. Kader yang lahir dari rahim Persyarikatan sudah siap menjadi pelaksana amal usaha, baik sebagai guru, tenaga kesehatan, maupun staf administrasi.
Perusahaan atau lembaga umum membuka rekrutmen karena mereka tidak memiliki jaringan anggota dan kader yang siap mengabdi. Sementara Muhammadiyah memiliki ribuan kader hasil binaan berjenjang, yang sejak awal ditanamkan nilai-nilai kerja ikhlas, profesional, dan berorientasi dakwah.
Inilah yang membedakan AUM dengan lembaga lain. Namun, dalam kenyataan di lapangan, seringkali sistem kaderisasi belum berjalan optimal. Sebagian sekolah atau Ortom belum sepenuhnya menyiapkan kader untuk siap mengabdi di AUM.
Di sisi lain, pimpinan AUM terkadang lebih menekankan pada aspek teknis atau administratif tanpa melihat akar ideologis kader. Akibatnya, posisi-posisi strategis diisi oleh orang-orang profesional yang tidak memiliki ikatan ideologis dengan Muhammadiyah, bahkan tidak memahami visi dakwahnya.
Kondisi ini menimbulkan dua dampak serius. Pertama, AUM menjadi kehilangan ruh perjuangan dan bergeser menjadi lembaga komersial biasa. Kedua, kader-kader Muhammadiyah tersisih dari ruang pengabdian di rumahnya sendiri. Dalam jangka panjang, hal ini akan mengikis sistem kaderisasi dan melemahkan regenerasi kepemimpinan Muhammadiyah.
Dari Open Reqrutmen menjadi Open Development
Kualitas profesional tidak bertentangan dengan ideologi Muhammadiyah. Justru kader Muhammadiyah harus menjadi teladan profesionalisme berbasis nilai Islam. Oleh karena itu, yang dibutuhkan bukan open rekrutmen, melainkan open development — keterbukaan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas kader agar mampu bersaing di dunia kerja modern.
Agar kondisi ideal ini terwujud, maka sekolah, LKSA, dan Ortom Muhammadiyah harus memperkuat kembali fungsi kaderisasi mereka. Sekolah Muhammadiyah perlu meninjau ulang kurikulum pendidikan dan menambahkan unsur pembinaan ideologis serta orientasi pengabdian. LKSA bisa menjadi wadah menumbuhkan empati dan semangat sosial keummatan, sedangkan Ortom harus terus memperbarui sistem pelatihan dan mentoring agar kader yang lahir benar-benar memiliki militansi dan kompetensi.
Pembaruan kurikulum kaderisasi menjadi kunci penting. Di era profesionalisme dan kompetisi global, kader Muhammadiyah tidak cukup hanya bersemangat dakwah, tetapi juga harus unggul secara kompetensi, komunikasi, dan kepemimpinan. Dengan begitu, mereka bisa menjadi pilihan utama dalam pengelolaan AUM — bukan karena faktor kedekatan, tetapi karena kualitas dan integritas.
Ketika sekolah dan Ortom Muhammadiyah mampu menghasilkan kader unggul, maka AUM akan secara otomatis mendapatkan SDM terbaik dari jaringan internal Persyarikatan. Tidak perlu lagi open rekrutmen karena closed system kaderisasi telah berjalan dengan baik.
Meneguhkan Komitmen Kolektif Kaderisasi Muhammadiyah
Kesadaran ini harus menjadi kesadaran kolektif seluruh unsur Persyarikatan, terutama para pimpinan AUM. Mereka harus memahami bahwa memimpin AUM bukan hanya mengelola lembaga, tetapi juga menjaga kesinambungan dakwah Muhammadiyah. Setiap keputusan rekrutmen harus mempertimbangkan aspek ideologis dan kaderisasi, bukan semata aspek administratif.
Pimpinan AUM perlu memahami siklus kaderisasi ideal Muhammadiyah:
Sekolah menanamkan nilai, Ortom membina kepribadian, LKSA menumbuhkan kepedulian, dan AUM menjadi wadah pengabdian. Jika siklus ini berjalan konsisten, maka AUM akan menjadi puncak perjalanan kader Muhammadiyah — tempat mereka mengimplementasikan nilai-nilai perjuangan dalam bentuk karya nyata.
Kaderisasi yang baik tidak hanya mencetak tenaga kerja, tetapi juga membentuk manusia berjiwa dakwah. AUM yang dikelola oleh kader Persyarikatan akan lebih mampu menjaga integritas, efisiensi, dan keberkahan lembaga.
Pada akhirnya, persoalan rekrutmen bukan hanya soal teknis administrasi, tetapi soal ekosistem ideologis dan keberlanjutan gerakan. Jika Muhammadiyah ingin tetap eksis dan relevan di masa depan, maka ekosistem kaderisasi harus dijaga, diperkuat, dan dihidupkan secara sinergis antar unsur.
Jangan sampai AUM yang seharusnya menjadi rumah pengabdian kader justru menjadi lembaga yang menyingkirkan kader sendiri. Sebab, ketika AUM lepas dari sistem kaderisasi, maka akan lahir jurang antara gerakan dakwah dan lembaga amalnya — padahal keduanya seharusnya satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Kita harus berani kembali pada prinsip dasar: AUM adalah perpanjangan tangan dakwah Muhammadiyah, bukan entitas bisnis yang netral dari ideologi. Karena itu, rekrutmen di AUM semestinya bukan open rekrutmen, melainkan rekrutmen kaderisasi terarah yang berlandaskan pada sistem pembinaan Persyarikatan.
Idealnya, Amal Usaha Muhammadiyah tidak memerlukan open rekrutmen. Yang dibutuhkan adalah open commitment — keterbukaan dan komitmen seluruh unsur Muhammadiyah untuk memperkuat sistem kaderisasi. Sekolah, LKSA, Ortom, dan AUM harus terhubung dalam satu ekosistem pembinaan yang utuh.
Ketika setiap unsur menyadari perannya dalam siklus kaderisasi, maka Muhammadiyah tidak akan pernah kehabisan kader. Justru sebaliknya, akan lahir generasi baru yang siap mengabdi, profesional dalam kerja, dan istiqamah dalam dakwah. Itulah cita-cita sejati dari sistem kaderisasi Muhammadiyah — membangun manusia beriman, berilmu, dan beramal untuk kemajuan umat dan kemuliaan dakwah Islam berkemajuan.



