Etika Bisnis Muhammadiyah

Dokumentasi Faruq Ahmad Futaqi.
Penulis : Faruq Ahmad Futaqi, Kaprodi Manajemen Bisnis Syariah FEBI IAIN Ponorogo
Dalam HPT Buku 3 dibahas beberapa hal penting terkait etika bisnis yang dipedomani Muhammadiyah. Tarjih mendefinisikan etika bisnis sebagai seperangkat norma yang bertumpu pada akidah, syariah dan akhlak yang diambil dari qur’an dan sunnah. Norma ini digunakan sebagai tolok ukur dalam kegiatan bisnis dan segala yang berkaitan dengannya.
Akidah merupakan keyakinan tentang Allah Ta’ala, Malaikat, Rasul, kitab-kitab, hari kiamat, takdir, surga, neraka, balasan baik dan balasan buruk. Keyakinan Islam menuntun worldview (pandangan alam) tentang dunia dan seisinya. Alam semesta tidak dipandang sebatas fisik. Ada hakikat makna transendental yang tinggi, luas dan dalam melampaui realitas yang ada. Realitas kebenaran tidak terbatas hanya pada panca indra namun juga pada khabar shadiq dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Akidah meyakini ada hidup setelah mati. Ada balasan di akhirat, surga, neraka, dan hisab. Manusia akan dihitung amal baik dan amal buruk untuk mempertanggungjawabkannya.
Bisnis yang tak berakidah adalah sebaliknya. Dia tidak memiliki nilai keimanan. Tak pernah berpikir tentang surga dan neraka apalagi kebahagiaan setelah mati. Bisnis tanpa akidah hanya menilai dari sisi realitas indrawi saja. Hidup ini hanya di dunia ngapain capek-capek mikir akhirat. Sifat dan perilaku bisnis hanya didasarkan rasionalitas dan berorientasi untung rugi materi.
Angka-angka dalam perspektif akuntansi menjadi satu-satunya ‘akidah’ yang melegalkan setiap keputusan bisnis. Walaupun pada akhirnya harus mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan agama.
Bisnis yang berakidah Islam memiliki worldview Islam. Cara pandang dan pemahaman yang sarat Islam. Sifat, sikap dan perilaku Islam. Seluruh dasar, sendi dan pilarnya dikaitkan dengan nilai-nilai Islam. Bisnis Islam menuju dan berorientasi pada kehidupan yang falah, yaitu kesejahteraan dunia akhirat hasanah fidunya wal akhirah. Namun perlu dicatat akhirat tetap lebih penting daripada dunia.
Salah satu dasar pemikiran etika bisnis Muhammadiyah menyatakan Allah Taála pemilik mutlak harta, sedangkan manusia hanyalah pemilik nisbi. Konsekuensi pemikiran ini menuntut manusia untuk memperlakukan harta sesuai dengan aturan-Nya. Selain itu, dasar pemikiran Islam Rahmatan lilálamin berakibat bahwa bisnis di Muhammadiyah tidak hanya bertujuan profit namun juga welas asih kepada sesama manusia dan seluruh alam.
Pengejawantahan nilai etis bisnis Islam tidak lepas dari akar sejarah didirikannya Muhammadiyah. Nilai-nilai agama selalu larut menyatu dalam input, proses dan output dari bisnis yang dijalankan. Kyai Dahlan merupakan contoh konkrit bagaimana etika islam dijalankan. Selain Ulama’, dari usia muda sampai sepuh Kyai Dahlan telah berdagang batik. Dia berdagang dari kota ke kota, mulai Jawa Timur, Jawa Barat hingga Sumatera Utara. Bisnis Kyai Dahlan tidak hanya untuk keluarga namun digunakan untuk menghidupi Muhammadiyah.
Ibarat pepatah, bisnis di Muhammadiyah berdasar syarak, syarak berdasarkan kitabullah. Syariah, dalam makna agama menurut Kasman Singodimejo begini, “agomo yoiku tatanan Kang Moho Kuoso yen dijalanake syariate iso ngubah watege manungso”. Agama (syariah) merupakan seperangkat isntrumen illahiah yang mampu mengubah watak buruk manusia. Termasuk dalam dunia Bisnis. Penjalanan syariah dalam bisnis mampu mengubah bisnis yang maskulin (destruktif) menjadi bisnis yang memiliki nilai kemanusiaan sekaligus spriritualitas.
Syariah mengajarkan tentang implementasi zakat. Setiap kekayaan yang dikumpulkan ada hak dhuafa fakir miskin di dalamnya. Tidak mengeluarkan zakat berarti dzalim tidak hanya pada orang lain, namun juga pada dirinya. Secara tegas Allah Ta’ala bahkan mengancam orang yang tidak membayar zakat dengan siksa yang pedih. Emas dan perak dilelehkan dalam neraka, lalu diguyurkan pada orang yang tidak membayar zakat (At Taubah 34-35).
Syariat zakat merupakan wujud welas asih kepada sesama. Zakat menciptakan kondisi harta tidak menumpuk pada segelintir orang. Selain itu, zakat menjadi alat tazkiah (penyucian) jiwa manusia dari sifat kikir dan bakhil.
Secara lebih operasional Himpunan Putusan Tarjih telah menggariskan beberapa asas yang harus dipedomani dalam etika bisnis. Pertama, tauhid menjadi dasar utama dalam menjalankan etika bisnis di Muhammadiyah. Bisnis merupakan salah satu wujud penghambaan kepada Allah Ta’ala. Kedua, amanah dalam menjalankan bisnis dan larangan berkhianat di dalamnya. Ketiga, jujur dalam bertransaksi sehingga membawa keberkahan dan ketenangan berbagai pihak. Keempat, adil dalam berbisnis dan tidak saling mendzalimi kepada sesama. Kelima, kebolehan atau al ibahah yang merupakan pengejawantahan bolehnya melakukan seluruh transaksi bisnis kecuali ada larangan dalam agama. Keenam, ta’awun atau saling tolong menolong dalam taqwa dan kebenaran. Bisnis merupakan wujud tolong menolong sehingga tidak hanya dimaknai transaksional. Terdapat muatan silaturahim di dalamnya. Ketujuh, asas maslahah dalam bisnis menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh bisnis berakibat mafsadat atau kerusakan, keburukan dan kesia-sian. Kedelapan, saling rela sebagai wujud ridho diantara pelaku jual beli. Tidak ada paksaan untuk melakukan transaksi bisnis. Kedelapan, akhlak karimah dalam bertransaksi sebagaimana hadis Nabi, Allah Ta’ala mengasihi orang yang berbuat baik dalam membeli, menjual dan memberikan keputusan.
Sedangan ukuran dari etika bisnis menurut Tarjih sebagai berikut: pertama, bebas dari transaksi gharar. Transaksi bisnis harus terhindar dari ketidakpastian atau ketidakjelasan terkait kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyerahan. Kedua, bebas jahalah dan harus transparan. Tidak ada penyembunyian informasi-informasi penting terkait dengan transaksi bisnis yang dilakukan. Ketiga bebas maisir, transaksi bisnis bukan merupakan perjudian atau mengandung unsur-unsur perjudian. Kelima, tanpa kezaliman pada seluruh pelaku bisnis. Keenam, tanpa riba baik dalam jual beli ataupun transaksi keuangan. Ketujuh, dilarang curang dan menipu dan tidak boleh menyalahgunakan hak yang diberikan. Kedelapan, tidak boleh monopoli dan konglomerasi misalkan menimbun barang untuk merusak harga dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Kesembilan, produk atau jasa yang ditransaksikan bukan obyek haram (halal). Kesepuluh, tidak boleh menelantarkan dan memubadzirkan harta misal dengan pemborosan dan penyia-nyiaan terhadap harta benda yang ditransaksikan. (FAF)