Memaknai Puasa: Menahan Diri dari Sifat Rakus dan Tamak

 Memaknai Puasa: Menahan Diri dari Sifat Rakus dan Tamak

Penulis : Agus Supatma, Sekretaris MPID PDM Ponorogo

Kalau lahir di generasi 80 atau awal 90-an tentu anda cukup sering mendengar lagu dari grup penyanyi Bimbo. Dari sekian lagu yang populer dan bermakna, ada lagu yang cukup menarik berjudul “Anak Bertanya pada Bapaknya” yang salah satu penggalan liriknya seperti berikut:

Ada anak bertanya pada bapaknya

Buat apa berlapar-lapar puasa

Ada anak bertanya pada bapaknya

Tadarus-tarawih apalah gunanya

Lapar mengajarimu rendah hati selalu

Tadarus artinya memahmi kitab suci

Tarawih mendekatkan diri pada Ilahi

Jika bisa dimaknai secara filosofis tentu ini bukan sekedar lagu yang ngehits di zamannya, namun lebih dari itu. Lagu ini juga menjadi pengantar spiritual yang menginspirasi banyak orang dalam memaknai dan menjalani ibadah dengan tulus sepenuh hati. Tak hanya itu, lagu ini juga bisa menjadi medium yang memperdalam koneksi spiritual dengan Tuhan.

Selain lagu di atas, Bupati Ponorogo,  Sugiri Sancoko yang kerap disapa Kang Giri di momen gelaran ramadhan selalu menyampaikan agar kita semua bisa berguru pada haus belajar dan lapar, agar jiwa terhindarkan dari rakus dan liar.

Taraf yang paling sederhana dari sifat rakus ini tidak hanya terjadi pada bulan ramadhan saja, tetapi juga bulan-bulan sebelumnya. Namun demikian pada bulan ramadhan seperti ini yang semestinya sifat itu tidak muncul dalam diri, tetapi justru kita terjebak di dalamnya.

Barangkali setiap sore jelang berbuka, sajian rupa-rupa selalu disiapkan dengan penuh semangat dan kehebohan. Teh panas, kolak pisang, es buah, gorengan, ayam bakar dan entah berapa jenis lagi yang berjejer rapi nan megah di setiap meja. Apakah kita semua bisa menghabiskan itu semua tanpa sisa? tentu tidak!

Pada saat takbir berkumandang, paling-paling yang kita seruput hanya setengah gelas teh panas atau air putih, ditambah kurma jika ada, dan satu gorengan. Itupun perut sudah terasa penuh dan sesak.

Perkara imajinasi tentang rasa lapar karena perut kosong seharian penuh menciptakan bayangan-bayangan tentang ruang dalam perut yang pasti sangat longgar. Barangkali kita paham bahwa perut tak akan selonggar itu. Tapi reaksi kimiawi akibat lapar menyerbu otak, kemudian menciptakan halusinasi. Akhirnya rasa lapar, imajinasi, keinginan balas dendam, dan pemuasan kebutuhan, campur aduk menjadi satu.

Dari situ, timbullah satu keyakinan bahwa kita akan mampu melahap habis semua menu. Kita lapar berpuasa selama kurang lebih 14 jam, namun terasa penuh hanya dengan 5 menit berbuka. Sungguh nikmat yang sangat singkat bukan? Perkara rakus ini menjadi atensi secara khusus dalam kitab al-Arbain Fii Ushuluddin karya Imam Al Ghazally. Disebutkan bahwa rakus terhadap makanan termasuk dari segala sumber bahaya yang cukup besar terhadap agama. Perut merupakan sumber munculnya syahwat. Dari syahwat tersebut akan memunculkan symtomp berikutnya yakni syahwat seksual.

Jika syahwat terhadap makanan dan seksual ini berjalan beriringan dan sudah lebih dominan daripada aspek yang lain maka akan memunculkan sikap rakus terhadap harta, karena keduanya hanya bisa dicapai dengan harta. Selanjutnya dari Hasrat terhadap harta akan melahirkan syahwat terhadap kedudukan, karena harta yang melimpah akan sulit didapatkan bilamana tidak memiliki kedudukan.

Jika dinalar secara mendalam apa yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazally tersebut bahkan sudah terjadi di zaman ini. Tuan-puan bisa lihat betapa pemberitaan korupsi di Pertamina atau korupsi lainnya sungguh sangat menyesakkan dada. Bukan jumlahnya yang sangat fantastis, tetapi lebih jauh dari itu. Sungguh sangat naif jika kita sebagai rakyat biasa tidak terluka dengan berita menjijikan seperti itu. Kenapa orang dengan jabatan sementereng itu bahkan pintar dari sisi akademis justru terjebak dalam kubangan nista. Jawabannya sederhana, sifat rakus tersebut sudah merasuk ke dalam urat nadi dan sendi-sendi seluruh kehidupan.

Ciri-ciri Orang Rakus

Pada taraf yang lebih sederhana dari pada persoalan di atas ialah perkara memperebutkan dan mempertaruhkan semuanya demi harta maupun jabatan. Di antara ciri orang yang rakus ialah:

  1. Selalu merasa kurang terhadap apa yang dimiliki.
  2. Mengorbankan prinsip-prinsip kebaikan.
  3. Kurang bersyukur.
  4. Selalu iri atas pencapaian orang lain.

Adapun penyebabnya antara lain;

  1. Kurangnya Iman yakni tidak memilki rasa takut terhadap Allah).
  2. Pengaruh Lingkungan yang materialistis dan konsumtif.
  3. Kekurangan spiritual, yakni kurangnya dzikir kepada Allah
  4. Terbiasa hidup hedon dan berlebihan.

Dari persoalan di atas akan menimbulkan dampak yang tidak sedikit. Banyak orang yang akan menghalakan segala cara untuk meraih apa yang telah menjadi obsesi. Jika dikasih jabatan sekali, karena merasa baik dan berprestasi akan minta dua kali. Jika dua kali dirasa sesuai target maka akan minta tiga kali, karena merasa tidak ada orang lain yang bisa seperti dirinya. Pada taraf ini orang semacam itu akan menabrak dan mengakali  aturan sakeenak udele dewe  supaya kekuasaan bisa dengan sepenuhnya dalam genggaman. Syukur-syukur bisa menjadi milik pribadi. Lalu setelah merasa berhasil menjadi raja di suatu tempat, dia akan meletakkan orang kepercayaannya menempati kedudukan yang ditinggalkan guna mencari tempat baru untuk bereksistensi dan menyalurkan hasrat serakahnya—begitu seterusnya.

Jika sudah menapaki taraf ini tentu sudah sangat akut, dan yang bisa menghentikan hanyalah waktu. Sebagaimana pesan Rasulullah SAW bersabda:

لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لَابْتَغَى وَادِيًا ثَالِثًا، وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

“Jika anak Adam memiliki dua lembah harta, ia pasti ingin memiliki lembah ketiga. Dan tidak ada yang bisa memenuhi perut anak Adam kecuali tanah (kematian). Dan Allah akan menerima taubat siapa saja yang bertaubat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Memang sudah manjadi tabiat manusia menjadi seperti itu, tetapi sekali lagi kita harus memilik control atas diri kita supaya kita tidak mencintai dunia ini secara berlebihan. Apalagi sampai harus mengorbankan berbagai macam pihak dalam mencapai obsesi pribadi, padahal yang dicari adalah kepentingan diri sendiri. Adalah naif jika kita terlalu mencintai dunia ini dengan mati-matian, sementara kita meyakini yang kekal bukan di sini tempatnya. Lagi pula pada saat  bulan ramadhan seperti ini mestinya kita semua bisa ngempet dalam segala hal dan mengencangkan ikat pinggang agar berupaya untuk memaksimalkan seluruh amal kebaikan. Sebagaimana nasihat dari lagunya bimbo di atas.

Merasa Cukup (Qona’ah)

Rasulullah Saw, telah mengingatkan kita agar kita bisa berpuasa secara maksimal dimana tidak hanya mendapatkan lapar dan haus saja. Sebagaimana pesan dalam hadist yang diriwayatkan Bukhori.

Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak mendapat pahala puasa kecuali hanya lapar dan hausnya saja. Berapa banyak orang yang bangun malam, tidak mendapat pahala kecuali hanya bangun malamnya saja.” (HR Bukhori).

Puasa mengajarkan kita tidak hanya belajar kepada haus dan lapar, agar kita bisa terhindar dari syahwat rakus dan liar. Kedua penyakit tersebut juga merupakan penyakit hati yang harus segera diobati jika kita ingin betul-betul terhindar dari hal ini. Lebih-lebih bulan ini merupakan bulan penuh ampunan guna untuk memperbaiki segala kesalahan.

Dua sifat yang bisa digunakan untuk mencegah penyakit ini ialah merasa cukup (qona’ah) yang menandakan keridhaan dan kepuasan atas apa yang Allah berikan kepada kita. Sikap ini menjauhkan seseorang dari keinginan yang berlebihan dan memberikan ketenangan batin. Kemudian yang kedua Wara’ merupakan sikap kehati-hatian dalam menjaga diri dari hal-hal yang tidak jelas atau syubhat (samar-samar) dan haram. Sifat ini tercermin dari kesalihan dan keimanan yang kuat, dimana lebih mengutamakan akhirat daripada duniawi. Islam juga mengajarkan kita untuk hidup sederhana, bersyukur atas nikmat yang ada, dan berbagi dengan sesama. Dengan meningkatkan keimanan dan kepedulian sosial, kita dapat mengatasi sifat rakus dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Menghindari sifat rakus dan tamak bukan hanya tentang mengendalikan keinginan duniawi, tetapi juga tentang memperkuat hubungan dengan Allah SWT dan sesama manusia.

 

Klik download materi PDF

 

Editor Ismini || Publish Nano

Related post