Begini Seharusnya Sikap Pers pada Jurnalistik Profetik di Era Disrupsi Informasi

 Begini Seharusnya Sikap Pers pada Jurnalistik Profetik di Era Disrupsi Informasi

Dr Ninik Rahayu Saat Menyampaikan Materi dalam Seminar Nasional Jurnalisme Profetik

Begini Seharusnya Sikap Pers pada Jurnalistik Profetik di Era Disrupsi Informasi

Liputan Avita Diah Ayu Atalia, TMC Muhammadiyah Ponorogo

Suasana Seminar Nasional dan FGD Jurnalisme Profetik di Gedung Rektorat Umpo

Persoalannya adalah bagaimana di era disrupsi informasi ini, jurnalisme tetap menjaga integritasnya dan bisa sesuai menjalankan kode etik jurnalistik (KEJ) yang ada.

Permasalahan tersebut diungkapkan Dr Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers Indonesia, dalam kegiatan Seminar Nasional yang diinisiasi oleh Majelis Pustaka Informasi PP Muhammadiyah bersama Asosiasi Prodi Ilmu Komunikasi Muhammadiyah dan Aisyiyah (APIK PTMA) Jumat (26/01/24).

Ninik juga menyebutkan tantangan lain bagi PERS, dimana saat ini banyak yang mengaku media digital, tercatat ada sekitar 40.000 media, sementara yang sudah terverifikasi baru 2000 media saja. Belum lagi, media cetak semakin hari semakin menurun jumlahnya.

“Itu artinya banyak sekali media digital yang berpotensi melanggar Kode Etik Jurnalistik,” jelasnya.

Tantangan lain juga disebutkan olehnya, yang mana media mainstream sudah mulai kelabakan, menurutnya, dengan era digital media butuh cepat tapi memerlukan proses konfirmasi yang tidak mudah, lalu dari sisi bisnis itu juga tidak mudah, karena biaya iklan biasanya menempel di platform.

Lebih lanjut, Ketua Dewan Pers itu menyebutkan ada lima tren cyber di indonesia saat ini yang perlu ditanggulangi kembali pada undang-undang pers, meliputi : Era Digital yang selalu menekankan kecepatan, kecenderungan menghasilkan kebenaran yang sedang dalam proses belum hasil, condong membuat judul-judul yang sensasional, banyak media-media digital daerah mengambil rilis dari pusat tanpa pengolahan, dan terakhir praktik publik relation yang memutar balikkan fakta.

“Di dalam undang-undang 40 itu, tuntunannya ada dua yaitu satu jurnalis yang profesional dan medianya profesional,” imbuhnya.

Perusahaan dan wartawan yang profesional, sambungnya, adalah yang tunduk pada kode etik jurnalistik, ketentuan, syarat dan lain-lainnya.

Sehingga, berkaca dengan banyaknya tantangan tersebut dia pun memberikan tawaran strategi jurnalis profetik ditengah disrupsi informasi dan AI yaitu :

1. Meminta peran media atau peran kampus, karena kampus adalah cikal bakal para jurnalis profesional.
2. Membangun ragam konten dan saluran informasi yang berinvestasi dan bersumber daya manusia bukan hanya pada teknologi saja.
3. Menjangkau masyarakat bukan hanya komunitas tertentu.
4. Konsisten menghadirkan karya jurnalistik yang berkualitas dengan tidak mentolerir miss-informasi.
5. Waspada terhadap informasi yang tidak tersampaikan kepada masyarakat padahal informasi tersebut sangat dibutuhkan.
6. Kerja kolaboratif dari berbagai pihak atau lembaga.

Dr Ninik Rahayu Saat Menyampaikan Materi dalam Seminar Nasional Jurnalisme Profetik

Selain enam hal tersebut, dia mengungkap jurnalisme profetik ini merupakan salah satu tipologi yang disebutkan Chairil Mahfud, yakni semangat berjihad menegakkan nilai-nilai keislaman.

“Jurnalismenya tidak boleh provokatif, memberikan pencerahan bagi umat dan substansi Islam adalah hakikat. Islam yang hakiki, bukan jurnalisme yang provokatif atau anti dialog, memecah, mempolarisasi, tidak ada keberagaman, dan lain-lain,” tandasnya.

 

Editor Ismini/Nano

Related post