Ijtihad Baru: Reformulasi Keharusan

 Ijtihad Baru: Reformulasi Keharusan

Hari ini, kita tengah melewati sebuah masa depan ekstrem. Ya. Saya berani menyebutnya masa depan. Bukan, bukan lagi tentang bagaimana nantinya kita ke depan dapat menyelesaikan sebuah problematika yang begitu kompleks. Melainkan, masa depan ekstrem sedang dan tengah kita hadapi. Jadi, hari ini, adalah masa depan itu sendiri.

Pandemi ini, hanya menjadi bagian kecil dari bagaimana masa depan yang begitu ekstrem. Dari persoalan pendidikan, politik, sosial, ekonomi, hingga berbagai sektor penting lainnya, mau tidak mau, akibat pandemi, semua berjalan pincang, hingga berdampak pada kebutuhan prinsipil manusia. Persoalan yang paling mendasar adalah satu: kita tidak siap. Apapun alasannya, memang, kita tidak siap. Atau, paling tidak, ada semacam re-question: mengapa kita tidak siap?

James Canton, dalam The Extreme Future, menjelaskan, bagaimana negara sebesar Amerika Serikat dibuat tidak berdaya saat tragedi 9/11. Serangan tersebut telah meluluhlantahkan tak hanya kehidupan para korban yang tewas, tapi juga telah mengubah cara Amerika memandang masa depan. Karena serangan itu memperkenalkan ketidakpastian dan ketakutan ke dalam kebudayaan masyarakat.

Tidak ada kepastian dalam masa depan, semua terjadi begitu saja, sama halnya dengan tragedi kemanusiaan tersebut. Yang ada, ketakutan-ketakutan di tengah ketidakpastian suatu keadaan di mana, hari ini, manusia hanya dapat memprediksi. Tidak lebih dari itu.

Jauh sebelum itu, pada tahun 70-an, Alvin Toffler, penulis dan futurolog, dikenal dunia dengan istilah Future Shock. Ia berhasil memperingatkan kita, sebagai masyarakat kita belum terlalu serius mimikirkan masa depan. Yang ada, kita hanya mendapat efek kejut dengan keberadaan masa depan.

Seperti itulah gambaran dunia, manusia, dan segala sesuatu yang sedang mereka hadapi. Lantas, bagaimana bila premis-premis di atas kita jadikan sebuah referensi-reflektif atas persoalan organisasi, organisator, dan segala sesuatu yang sedang dihadapi? Mari.

Dinamisasi Perspektif

Dalam rumah besar, dalam hal ini Ikatan, menjadi hal wajar, bagaimana organisasi kemahasiswaan Islam ini hadir dan eksis hingga saat ini, dengan pelbagai multi-pandangan yang sangat dinamis. Bagi saya ini baik, dan tentu harus dipertahankan. Jangan sampai tidak. Dengan jargon berkemajuan, apalagi Muhammadiyah (sebagai ruh perjuangan Ikatan) memang pantang memiliki paradigma sempit dalam berpikir, apalagi bertindak. Justru, kalau sampai ada homogenitas pandangan, ini berbahaya.

Memandang hal tersebut, dinamisasi perspektif memang haruslah ada. Seperti misal: siapakah yang akan mengetahui sebuah gagasan itu benar-benar baik, ditimbang dari berbagai macam sudut, mudharat-maslahat, baik-buruk, benar-salah, dan berbagai sudut aksiologis lainnya, bilamana tidak ada dinamisasi perspekif? Atau lebih tepatnya, semua hal akan menjadi sesuatu yang diterima secara utuh, tanpa ada counter-naration─yang mana ini adalah sebuah keharusan. Tidak bisa tidak.

Sayangnya, hari ini masih kerap ditemukan persoalan-persoalan demikian. Entah, problematika mendasar apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Apakah nir-profesionalism? in-capacity? atau memang sebuah sistem-mekanisme yang membuat hal tersebut tercipta-terjadi?

Maka, sebagai manusia yang diberi akal sehat, manusia yang (seharusnya) merdeka atas dirinya sendiri─tanpa melupakan hal-hal prinsipil, kita boleh kembali duduk merenung, dan mencoba berfikir ulang atas apa yang sudah disampaikan Quran─”afala ta’qilun?”

Menjadi Persoalan

Apapun itu, bilamana sudah menjadi konsensus bersama, permufakatan kolektif, dan tujuan bersama, sudah barang tentu dilaksanakan bersama juga, secara kolektif, apapun itu. Katakanlah, perkaderan, tanpa dipertanyakan, ini adalah tendensi-kolektif, kepentingan bersama. Ini prinsip dasar. Tidak boleh dilupakan.

Baik, mungkin, bilamana ini sudah menjadi pemahaman bersama. Atau sudah banyak dipahami, mari, tinggal bagaimana hal tersebut menjadi triggered-factor untuk memperbaiki. Apa yang perlu diperbaiki? Banyak. Dalam persoalan ini, setidaknya, ada 3 indikator yang menjadi persoalan.

Pertama, coba, mari kita hitung, ada berapa banyak kader yang masih aktif hingga ke jenjang perkaderan lanjut di luar Ikatan, sepertihalnya perkaderan di Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah, hingga ke pimpinan Muhammadiyah. Semangat (organisasi)  keberlanjutan yang kian meluruh ini pun juga tanpa sebab, masih banyak kader-kader akar rumput yang tidak memiliki orientasi jenjang yang berkelanjutan.

Mungkin, hal tersebut, masih menjadi perdebatan di internal. Seperti misal, muncul pertanyaan: apakah ada keharusan akan persoalan tersebut? Tentu, bila dijawab, jelas tidak ada. Dan, persoalan itu (juga) akan menjadi (pembenaran) bagi Sebagian pihak untuk membenarkan: bahwa itu bukan persoalan, melainkan sebuah hal yang (bagi mereka) wajar. Sejatinya, tidak.

Kedua, banyak dijumpai, bagaimana kader sudah merasa cukup ketika menyelesaikan amanah di tingkat komisariat. Dengan maksud, memang tidak ada keberlanjutan jenjang di sana. Ya, berhenti, sudah tidak aktif di IMM lagi. Ini bukan tanpa sebab. Internalisasi ideologi yang masih kurang begitu maksimal menjadi persoalan mendasar. Terlepas dari hal apapun.

Mau tidak mau, persoalan di atas bermuara kepada krisis kepemimpinan. Variabel kuantitas pun, semakin mengalami peluruhan. Padahal, kita masih memilki pekerjaan rumah: peningkatan kualitas. Ini menjadi penting. Dan, kadang, tidak semua pihak mampu membaca.

Jangan sampai semangat ideologi yang menggebu diartikan sebagai sifat primordialistik. Tentu tidak. Ini sangat berbeda. Tidak ada hubungannya. Bahkan, semangat ideologis yang mandarah daging adalah bukti keseriusan dalam perkaderan. Tidak main-main dalam belajar-berproses. Ini semua, akan berhasil secara maksimal, dengan sistem yang maksimal, juga.

Ketiga, disorientasi konsep kompetensi. Benar. Sesuatu yang seyogyanya, bahkan seharusnya memiliki prinsip-orientasi integrated hari ini bergeser. Pergeseran itu cukup fatal, bilamana bersifat parsial, dalam maksud, dipahami secara dangkal─bahwa, misal, terdapat tiga variable, ketiganya tidaklah harus ter-integrasi. Begitu pemahaman fatalnya.

Konsep religiusitas-intelektualitas-humanitas ini bersifat integrated. Manakala, dalam perjalanan acapkali diketemukan sebuah persoalan yang tidak mengindahkan prinsip-orientasi tersebut, memang benar, ada sesuatu yang perlu diluruskan. Lagi-lagi, ini bukan kemewahan yang harus dijadikan euforia sesaat.

Memang, atas nama perkaderan, bukan hal yang dibenarkan untuk mengedepankan egosentrisme sehingga bermuara kepada nasib perkaderan. Jelas, ini persoalan yang tidak begitu baik. Perkaderan itu substansi, sistem yang baik akan melahirkan perkaderan yang baik pula. Perkaderan haram dijadikan korban. Dampak dari ini, bukan sekarang, besok, ataupun lusa. Melainkan, masa depan. Benar. Sedangkan kita tahu. Masa depan begitu ekstrem.

Di atas adalah persolan prinsipil. Atau, dengan kata lain, sudah seharusnya persoalan tersebut terjadi. Bayangkan saja, ketika masih banyak persoalan masa depan yang begitu ekstrem─seperti yang disampaikan Canton. Dan, kita masih terjebak dalam persoalan mendasar. Bukankah dengan hal tersebut kita justru tertinggal beberapa langkah dengan yang lain? Lagi-lagi, pertanyaan ini bersifat kolektif.

Ijtihad Baru  

Konsep Ijtihad yang menjadi term pembahasan popular di kalangan aktivis-intelektual Muhammadiyah selalu tidak dapat dilepaskan dengan terminologi modernisme, pembaharuan, kontekstual. berkemajuan. Ini sudah menjadi paradigma dalam Muhammadiyah. Tentu saja, Ikatan, sebagai sebuah laboraturium gerakan cum perkaderan, harus membaca lebih jauh akan hal itu. Ijtihad baru apa yang harus diterapkan dalam tubuh Ikatan?

Sekiranya, berangkat dari narasi yang tersampaikan di atas, ada 2 ijtihad baru yang harus dilakukan dalam tubuh Ikatan.

Pertama, sebagai persoalan mendasar, pekerjaan rumah yang harus dilakukan adalah bagaimana semaksimal mungkin persoalan tersebut harus terselesaikan. Berbagai macam persoalan perkaderan pada khususnya. Ini hal fundamental yang tidak boleh ditinggalkan. Kadang, banyak dari kita melupakan hal ini. Apalagi, dalam rangka mengejar sesuatu yang jauh dari kata substansial, lagi-lagi perkaderan menjadi korban. Ini tidak baik. Sekali-lagi, jangan sampai langkah kita terlalu jauh dari persoalan perkaderan.

Misalkan saja, barangkali juga ada hal yang lain: bahwa pimpinan tertinggi secara umum sudah memastikan stuktur pimpinan di bawahnya sudah benar-benar (maksimal) dalam perkaderan. Mungkin, sebelum itu, boleh menjadi question-refelction: apakah perkaderan di struktur di bawahnya berjalan dengan maksimal? Tentu, sebagai bapak, perkaderan harus benar-benar dipastikan. Harus.

Akan banyak permasalahan hadir, manakala perkaderan masih menjadi momok yang belum (atau memang tidak) diselesaikan. Selanjutnya, re-orientasi makna kompetensi dasar, dari ­un-integrated, menuju integrated. Sama. Ini juga memerlukan upaya dan usaha yang maksimal. Memahamkan kembali bukan hal yang mudah. Begitu juga, meluruskan pemahaman. Perlu duduk perkara yang ilmiah. Dan sebuah ilmu yang amaliah.

Kedua, agenda reformulasi, tinggalkan gaya lama, metode lama, pola lama. Selamat datang di dunia baru yang begitu ekstrem. Mengenai ini, perlu adanya pendekatan yang berbeda.  Dengan menggunakan pendekatan burhani (rasional-kontekstual) Ikatan perlu membaca dunia hari ini dengan radikal. Permasalahan akan selalu muncul ketika kita masih menuhankan teks. Dan tentu, ini tidak baik. Perlu ada pembaharu. Apalagi melihat persoalan yang masih begitu kompleks.

Di lain sisi, dalam kurun waktu belakang ini, dunia sedang dihadapkan dengan persoalan pandemi. Lagi, ini adalah bagian kecil dari kondisi yang begitu ekstrem. Tentu, kita tidak begitu siap. Perkaderan begitu kocar-kacir. Atas nama pandemi, perkaderan macet. Lagi-lagi. Manusia tidak begitu siap. Meneropong keadaan tersebut, dosis spirit memang tidak boleh meluruh. Terkadang, ini masih menjadi hobi.

Melampaui hal tersebut, Ikatan sangat memerlukan sosok-sosok pembaharu yang peka akan membaca persoalan secara dalam. Baru, kehadirannya, akan selalu ditunggu dalam upaya memperbarui, memikirkan ulang, atau dengan kata lain reformulasi sebuah gagasan yang membaharu-berkemajuan. Salam!

Billahi Fii Sabilil Haq, Fastabiqul Khairat

Oleh:
Habib Asha Kurniawan
Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Ismini TMC

http://muhammadiyahponorogo.or.id

Team Media Center Muhammadiyah Ponorogo

Related post