Politik Moderat-Inklusif Muhammadiyah
Muhammadiyah Sebagai organisasi yang memiliki basis masa besar menjadi salah satu penentu pemenang dalam setiap perhelatan kontestasi politik, hal ini menjadikan persyarikatan sebagai ladang rebutan para politisi. Dewasa ini, bobot Muhammadiyah menemukam momentumnya, kompromi politik terhadap Muhammadiyah mungkin tidak dapat dihindarkan, tapi sekaligus kondisi ini menimbulkan polarisasi dan segregasi politik dikalangan internal kader persyarikatan(Andar, 2019).
Adagium “menjaga jarak yang sama dengan semua kekuatan politik”dipopulerkan pada masa kepemimpinan Buya Syafii Maarif(2000-2005), sementara jargon “ menjaga kedekatan yang sama dengan semua partai politik” menjadi narasi yang selalu digaungkan pada masa kepemimpinan Din Syamsudin (2005- 2010, 2010-2015). Keduanya memiliki masa yang berbeda dan penafsiran yang beragam. Dari tafsir masing-masing pimpinan menjadikan corak politik tersendiri dalam setiap masa kepemimpinan, namun jargon tersebut sebenarnya menjadi tanda ambigiusitas Muhammadiyah dalam memandang politik, serta menjadi indikasi kuatnya tarik ulur internal persyarikatan antara faksi Culture – struktur, politik – apolitik,
Dalam perjalanannya ekspresi netralitas politik Muhammadiyah dalam setiap moment politik elektoral selalu dinamis (Taufiq, 2019). Sikap netralitas dan politik nilai yang selama ini menjadi nada dalam setiap kebijakan politis muhammadiyah perlu diteguhkan kembali. Namun juga perlu pengejawantahan ulang, sejauh mana politik bebas aktif utuk warga persyarikatan sebagai sebuah konsesus politik yang diambil secara resmi oleh persyarikatan.
Netral – Aktif
Netral aktif merupakan perpaduan oriantasi sosio-kultural dengan orientasi politik-struktural(Taufiq,2019), sikap netral diartikan sikap tegas Muhammadiyah untuk menjaga jarak kedekatan yang sama dengan semua komponen dan kekuatan politik serta pemerintah dalam arti yang proporsional. Hal ini dimaksudkan agar Muhammadiyah mampu untuk melakukan kritik yang berdasar pada beban panggilan dan tanggung jawab moral agar pemerintah mampu berjalan sesuai dengan konstitusi serta atas kepentingan rakyat. Dapat pula diartikan sikap netral sebagai jalan alternatif diantara jurang politik yang saling tarik menarik untuk masuk kedalam lubang keberpihakan pada salah satu pihak.
Sikap aktif mengandung pengertian ikhtiar Muhammadiyah untuk membentuk sistim politik yang berkeadaban, hal ini juga dapat dimaknai dengan sikap kepeloporan dan watak inisiator untuk munculnya formulasi kebijakan-kebijakan publik yang lebih berorientasi pada kebijaksanaan, regulasi yang pro rakyat, berdimensi jangka panjang dan mengedepankan aspek keberlanjutan dan kesinambungan. Sikap aktif ini juga menadasari dan sebagai dorongan kepada para kader persyarikatan agar mau mengambil peran dan senantiasa mengembangakan kemampuan dalam diaspora politik, Karena tidak dapat dipungkiri jika kemudian sikap aktif diejawantahkan para kader untuk masuk kedalam gerakan politik praktis.
Dalam menyongsong perhelatan politik pemilihan kepala daerah 2020, ditengah keprihatinan atas wabah COVID-19 yang belum berakir, Muhammadiyah seyogiyanya mampu untuk menjadi pelopor pencetus politik berkeadaban. Tema tanwir Muhammadiyah Bengkulu “Beragama yang mencerahkan”, kiranya perlu untuk diformulasikan dalam bentuk paradigma dalam konteks kehidupan berpolitik. Kontestasi politik yang berlangsung sengit akir-akir ini telah menimbulkan dan menumbuh suburkan patologi perpecahan dalam demokrasi electoral : merebaknya Hoax, Ujaran kebencian yang memecah belah persyarikatan dan berbagai sikap yang tidak mencerminkan warga persyarikatan Muhammadiyah yang mencerahkan. Muhammadiyah diharapkan untuk mampu selalu berada dalam sikap moderat dan menjadi rumah besar bagi seluruh kader dengan berbagai latar belakang pilihan politik sebagai bagian dari dakwah amar ma’ruf , nahi munkar.
Oleh : Dwi Bagus Irawan
-Aktivis Pelajar dan Mahasiswa Muhammadiyah
-Mahasiswa KPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta